Sunday, June 15, 2008

Mekanisme Penyelesaian Sengketa PILKADA dan Antisipasi Konflik

Semenjak reformasi bergulir di Indonesia keinginan akan terwujudnya demokratisasi kehidupan politik kian terbuka lebar melalui pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung. Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung merupakan salah satu wujud pelaksanaan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Demokrasi menuntut adanya suatu pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Terselenggaranya pilkada memberikan suatu keuntungan bagi masyarakat sebab masyarakat diberikan alternatif pilihan pasangan calon kepala daerah dan wakilnya setelah masing-masing kandidat pasangan calon tersebut mengemukakan visi dan misinya. Dalam pelaksanaan pilkada masyarakat akan memilih sosok calon pemimpin yang mereka paham dan kenal betul. Di samping itu calon kepala daerah itu juga dituntut untuk paham betul tentang potensi dan karakteristik daerah yang bersangkutan.
Dalam kehidupan politik pilkada haruslah dijadikan alat dalam mewujudkan kehidupan politik yang sehat dan bersih. Hakekat meraih kekuasaan dalam kehidupan politik yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung harus disesuaikan dengan makna kehidupan yang demokratis. Antara masing-masing kandidat harus ada persaingan yang sehat atau sportif. Setiap kandidat pasangan calon pun dituntut untuk tidak hanya berorientasi pada proses meraih kekuasaan tetapi lebih dari itu juga dituntut untuk menjalankan kekuasaan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat banyak.
Pilkada pada saat ini sudah memakai system yang sangat baru, meninggalkan system yang lama yaitu penunjukan langsung, yaitu dengan proses pemilihan langsung.
Pilkada ( baik pilkada tingkat I atau pilkada tingkat II) secara langsung oleh rakyat telah dilaksanakan dengan sukses dan demokratis. Lebih dari separuh pemimpin daerah yang saat ini sedang berkuasa merupakan hasil dari pilkada secara langsung. Pilkada secara langsung tidak dapat dilepaskan dari proses penguatan demokrasi lokal dalam mendukung tujuan otonomi daerah. Pilkada langsung diyakini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pencapaian keseimbangan tata pemerintahan di tingkat provinsi, yang pada gilirannya berimplikasi terhadap peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pelayanan publik.
Sejak Juni 2005, pilkada langsung telah dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Analisis dan evaluasi pilkada langsung hasil riset LAN tahun 2007 menunjukkan bahwa penyelenggaraannya belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Implementasi di lapangan masih menyisakan sejumlah persoalan yang sifatnya mendasar. Ada bagusnya jika hasil evaluasi dijadikan acuan dalam melakukan perbaikan kinerja KPUD di masa yang akan datang. Hasil Kajian Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung yang dilakukan oleh Pusat Kajian Diklat Aparatur I pada tahun 2007 di delapan daerah yang melakukan pemilihan kepala daerah langsung (LAN I, 2007), memetakan permasalahan-permasalahan yang terjadi. Delapan daerah yang diteliti adalah pemilihan gubernur dan wakil gubernur di provinsi Gorontalo dan Banten, pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten Muaro Jambi, Bekasi, Kulon Progo dan Tuban, serta Walikota dan wakil walikota Kotamadya Batam dan Salatiga.[1]
Secara umum pelaksanaan pilkada langsung di daerah-daerah ini telah berlangsung dengan baik. Akan tetapi ada beberapa permasalahan yang masih muncul dalam pelaksanaan pilkada langsung yang berkaitan dengan aspek kelembagaan, tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaannya. Masalah yang berkaitan dengan aspek kelembagaan meliputi netralitas dan profesionalisme KPUD. Antara lain sulitnya anggota KPUD mempertahankan integritas pribadinya terhadap incumbent serta sulitnya tercipta sinergi antara anggota KPUD dan sekretariat KPUD di dalam penyelenggaraan pilkada. Dan beberapa masalah yang menyangkut panitia pengawas pemilu, yaitu kurangnya independensi panwaslu, dan peraturan perundang-undangan yang ada masih belum memberikan ruang gerak yang cukup bagi panwas untuk melakukan pengawasan dan menangani pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Gregorius Sahdan (CSIS, 2005) mengidentifikasi lima bentuk konflik dalam pilkada yaitu pertama adalah konflik administrasi yang bersumber dari diskriminasi dalam penetapan calon kepala daerah oleh KPUD; kedua konflik internal partai akibat calon dari arus bawah tidak direstui oleh partai pusat; ketiga konflik elite politik dengan KPUD akibat adanya keputusan KPUD yang tidak mau menetapkan calon dari partai yang bermasalah; dan keempat konflik antara massa dengan KPUD akibat dari massa tidak menerima calonnya tidak lulus verifikasi oleh KPUD dan yang terakhir adalah konflik antar massa pendukung akibat ketidakmauan mereka menerima kekalahan.
Progo Nurjaman, Kepala Desk Pilkada dari Departemen Dalam Negeri (dalam seminar yang diselenggarakan CSIS pada tanggal 30 Agustus 2005 dengan tema Pilkada : Masalah dan Prospek menyampaikan upaya-upaya pemerintah dalam menyelamatkan Pilkada) Pilkada meskipun dilaksanakan di tingkat lokal, implikasinya akan mencapai tingkat nasional juga. Setelah UU No. 32/2004 ditetapkan Oktober 2004, beberapa hal penting telah diproses. Salah satunya adalah pembentukan PP MRP bersama-sama dengan tokoh masyarakat, kemudian dilanjutkan dengan PP Pilkada terlepas dari keterbatasan waktu dan pendanaan mengingat penetapan APBN dan ABPD sudah berjalan.
Dalam perjalananya proses pilkada (seperti proses-proses lain) tentunya mengalami banyak kendala dan permasalahan. Sedikit dari banyak permasalahn tersebut yang dapat saya contohkan adalah ketidak puasan peserta yang kalah terhadap hasil penghitungan suara yang dilakukan KPUD, yang ujung-ujungnya pasti akan menjadi konflik horizontal di masyarakat (tidak hanya masalah hukum saja). Disini peran Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa pilkada tentu saja sangat krusial mengingat potensi konflik yang dapat di timbulkan. Akan tetapi Mahkamah Agung dalam pengambilan keputusan masih saja menggunakan logika politik mengalahkan logika hukum seharusnya putusan mahkamah agung bukan melakukan pilkada ulang namun hanya sebatas penghitungan ulang di TPS-TPS yang dicurigai terjadi kecurangan. Sesuai pasal 106 ayat 5 UU no 32 tahun 2004 keputusan Mahkamah Agung tersebut bersifat final dan mengikat artinya tidak dimungkinkan lagi untuk melakukan upaya hukum lanjutan (Peninjauan Kembali) namun, dalam prakteknya mahkamah agung menerima PK dari pihak yang merasa tidak puas terhadap putusannya. Pendobrak pertama hal tersebut adalah walikota depok Nur Mahmudi Ismail yang mengajukan PK terhadap putusan mahkamah agung yeng ‘mengalahkan’ dirinya yang pada akhirnya ia dimenangkan oleh mahkamah agung dan sekarang duduk enak menjadi wali kota.
Hal ini memicu adanya suatu kebiasaan buruk bahwa pihak yang kalah dalam sengketa pilkada pasti akan mengjukan PK yang pada awalnya tidak mempunyai dasar hukum, baru-baru ini terjadi di pilkada Sulawesi selatan yaitu Gubernur terpilih Syahrul Yasin Limpo yang dapat menjadi gubernur berkat kemenangan pihaknya dalam sengketa pilkada setelah mengajukan PK terhadap putusan Mahkamah Agung.
Untuk ke depan ada beberapa solusi terlepas dari banyaknya permasalahan. Harus mengantisipasi hal-hal yang belum diatur dalam UU No. 32/2004. Usulan mengajukan UU Pilkada yang tersendiri sedang dibicarakan dengan lembaga legislatif. UU No. 32/2004 menjadi ‘cantelan’ dari UU Pilkada tersebut.

Prosedur/mekanisme Penyelesaian Sengketa Pilkada dan Dasar Hukumnya.
Potret pelaksanaan pilkada di berbagai daerah saat ini diwarnai oleh berbagaiperistiwa muram. Hal yang paling kecil dapat ditemukan dari pencopotan atau penurunan atribut kampanye kandidat lain oleh masing-masing massa pendukung. Sekiranya hal itu dilakukan dalam masa kampanye maka hal tersebut membuktikan masih belum terwujudnya kedewasaan berpolitik dari kubu pasangan calon tertentu.
Ketidakdewasaan berpolitik juga ditandai dengan terjadinya bentrok fisik antar massa pendukung yang berlainan. Peristiwa ini merupakan cerminan dari tidak adanya rasa saling menghormati antar massa pendukung yang berbeda.
Bentrok fisik terkadang tidak hanya terjadi ketika pada saat pawai kendaraan. Namun, juga terjadi ketika berada di luar jadwal pawai atau kampanye. Walaupun kerugian akibat bentrokan ini sangat besar namun pada kenyataannya hal ini terus menerus terjadi di lapangan.
Persoalan bertambah pelik ketika pelaksanaan kampanye juga diikuti dengan adanya berita gelap yang menjelek-jelekan salah satu pasangan calon, berita atau isu tersebut disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk menyudutkan posisi pasangan calon lainnya.
Seandainya isu gelap ini terus berlangsung maka wajah pelaksanaan pilkada akan selalu diwarnai oleh fitnah-fitnah yang secara etika politik akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan yang demokratis.
Mewujudkan kedewasaan berpolitik dan tanggungjawab politik memang suatu hal yang agak sulit. Tetapi, apabila kita ingin mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh lebih baik maka sudah saatnya kita memulai perubahan dari sekarang.
Berani bertanggungjawab merupakan salah satu contoh yang dapat dilakukan. Jarang sekali pihak-pihak yang mau bertanggungjawab atas terjadinya berbagai insiden buruk selama masa kampanye.
Permasalahan-permasalahan politik seputar pelaksanaan pilkada pada umumnya akan memuncak ketika hari pencoblosan dan pada saat penghitungan suara. Sebelum pencoblosan dimulai kita sering mengenal istilah yang disebut dengan 'serangan fajar'. Dengan adanya kejadian serangan fajar menunjukkan bahwa demokrasi di negara kita masih sangat lemah sebab masih banyak masyarakat dan pihak-pihak tertentu yang mau menjual dan membeli demokrasi dengan uang.
Dengan harapan agar sang kandidat terpilih menjadi kepala daerah maka berbagai hal bisa saja dilakukan pasca pencoblosan. Salah satunya dengan manipulasi penghitungan suara di beberapa tempat yang sekiranya luput dari pengawasan pihak lain. Kejadian inilah yang kemudian menimbulkan kecurigaan terhadap hasil penghitungan suara yang telah diumumkan. Sebagai buntutnya adalah terjadi kericuhan dan saling protes atas hasil yang telah diumumkan.
Hanya beberapa daerah saja yang pada kenyataannya bisa menyelesaikan keseluruhan rangkaian pilkada tanpa biaya politik yang begitu besar, tanpa harus saling mengerahkan atau menunjukkan kekuatan fisik.
Penyelenggaraan pilkada untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Banten dan DKI Jakarta, merupakan salah satu contoh penyelenggaraan pilkada yang dapat dijadikan tolak ukur kemajuan kehidupan berdemokrasi.
Dalam pelaksanaan pilkada di Banten dan DKI Jakarta setiap permasalahan yangterjadi dalam sengketa pelaksanaan dan hasil pilkada ditempuh melalui jalur hukum.
Pengerahan kekuatan diupayakan sekecil mungkin tidak terjadi. Kalaupun ada demonstrasi maka tidak terjadi saling serang antara massa pendukung yang berlawanan, di samping itu ada pihak yang bertanggungjawab sebagai koordinator massa demonstrasi.
Kedewasaan berpolitik begitu tercermin dari adanya ketaatan terhadap hukum dan rasa saling menghormati. Dalam kasus di Banten dan Jakarta pada akhirnya pihak yang kalah dalam sengketa hukum hasil pilkada dengan lapang dada menerima kekalahannya.
Pihak yang dikalahkan, seperti Zulkieflimansyah dan Adang Daradjatun, tidak sungkan-sungkan untuk memberikan ucapan selamat kepada calon yang terpilih menjadi kepala daerah, dan dengan secara terbuka berani menyatakan siap membantu jalan dan suksesnya program pemerintah.
Permasalahan pilkada dapat timbul pada semua tahapan dalam pelaksanaannya baik pada tahap persiapan maupun tahap pelaksanaan pilkada seperti :
a.Tidak akuratnya penetapan data pemilih
b.persyaratan (ijazah palsu/tidak punya ijazah)
c.Permasalahan internal parpol dalam hal pengusulan pasangan calon
d.KPUD yang tidak tranparan, tidak independen dan memberlakukan pasangan calon tidak adil dan setara
e.Adanya dugaan money politik
f.Pelanggaran kampanye
g.perhitungan suara yang dianggap tidak akurat.[2]
Gonjang-ganjing pilkada di ber-bagai daerah di negeri ini banyak yang bermuara pada ketidakpua-san terhadap proses dan hasil pil-kada itu sendiri, atau berangkat dari proses politik yang tak mampu mengakomodasikan aspirasi akar rumput. Banyak kasus menunjuk ke arah itu. Pilkada di berbagai wilayah di tanah air berujung dengan kepiluan politik.
Publik selalu dicekoki dengan istilah pembatalan pilkada, pilkada ulang, dan sebagainya. Ini peristilahan yang keliru dan tidak benar karena peraturan perundang-un-dangan pilkada seperti UU No 32 Tahun 2004, Perpu No 3 Tahun 2005, PP No 6 Tahun 2005, dan PP No 17 Tahun 2006 sama sekali tidak mengenal yang namanya pilkada ulang atau pembatalan pilkada. Yang ada hanya penghitungan suara ulang, pemungutan suara ulang, atau penundaan pilkada.
Hal ini menunjukkan ketidaktahuan publik terhadap mekanisme penyelesaian sengketa pilkada. Ketidaktahuan publik masyarakat bisa disebabkan oleh penyeleng-gara pemilu yang tidak cukup melakukan sosialisasi mengenai mekanisme penyelesaian sengketa meski mungkin saja sosialisasi proses pilkada di tahap lainnya dilaksanakan dengan baik. Hal ini bisa terjadi karena ekspektasi yang terlalu tinggi dari para penyelenggara pilkada bahwa pilkada tidak banyak menimbulkan masalah. UU No 32 Tahun 2004 pada prinsipnya mengatur kewenangan DPRD dalam pilkada sehingga KPUD bertanggungjawab kepada DPRD.
Namun kewenangan itu lalu dihapus dan dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No 072-073/PUU-II/2004 tanggal 22 Maret 2005. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan DPRD hanya sebatas memberi rekomendasi pengangkatan dan pengesahan pasangan calon terpilih kepada Mendagri melalui Gubernur berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dan berkas pemili-han dari KPUD, sedangkan KPUD sendiri memiliki kemandirian pe-nuh untuk melaksanakan pilka-da secara bebas dan transparan. Meski demikian, kemandirian KPUD itu menuai masalah ketika terjadi penolakan dan/atau intervensi dari DPRD dan/atau masyarakat.
Dalam hal penolakan terhadap pilkada berdasar kasus-perkasus permasalahan dimulai dari tekanan masyarakat dan/atau kontestan yang merasa dirugikan kepada panwas pilkada untuk membuat laporan pelanggaran pilkada yang diteruskan kepada pihak DPRD. DPRD kemudian membuat rekomendasi kepada KPUD untuk menunda atau membatalkan pilkada.
UU Pemda menentukan bahwa putusan MA dalam sengketa hasil pilkada bersifat final dan mengikat serta dapat didelegasikan kepada pengadilan tinggi (PT). Tetapi penjelasan Pasal 106 Ayat (7) mementahkan sifat final tersebut karena putusan PT yang bersifat final adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum.
Sifat final dan mengikat putusan pengadilan merupakan kunci bagi kepastian politik dan hukum hasil pilkada. Tetapi sifat tersebut tidak diterapkan sebagai lex specialis oleh MA. Penetapan hasil pilkada oleh KPU Kota Depok telah digugat ke PT Jawa Barat dan dikoreksi oleh putusan No 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. KPU Depok pun meminta peninjauan kembali dan putusan MA No 01 PK/Pilkada/2005 membatalkan putusan PT Jawa Barat (sekaligus menyalahi Perma No 6/2005; Putusan MA kemudian disengketakan ke MK meskipun permohonan untuk memperkarakan putusan tersebut tidak diterima). Rumusan UU Pemda tidak menghapus ketentu- an hukum acara MA mengenai peninjauan kembali meskipun hasil revisi UU Pemda lebih mutakhir (lex posteror) dibanding hasil revisi UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman pada tahun 2004.[3]
Pengaturan dan praktik penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah masih membuka ketidakpastian hukum maupun destabilisasi politik. Sebuah desain penyelesaian hukum atas sengketa politik seharusnya mengandung kejelasan substantif dan ketegasan prosedural sehingga tidak mudah dibajak di pengadilan.
Dalam pasal 112-114 PP No.6/2005 yang mengatur tahapan penyelesaian sengketa, Panwas akan mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk melakukan musyawarah dalam mencapai kesepakatan. Bila tidak terjadi kesepakatan, maka Panwas akan membuat keputusan. Keputusan tersebut bersifat final dan mengikat. Sementara, bila terjadi laporan sengketa yang mengandung unsur tindak pidana, maka akan dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kemudian pemeriksaan dilakukan di pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Antisipasi Konflik Pilkada.
Setiap konflik yang berujung kepada kerusuhan dan kekerasan dalam sosiologi dikenal sebagai salah satu bentuk dan perilaku sosial yang merupakan produk dan stimulan perilaku-perilaku orang lain dimana individu yang melakukan kekerasan bukan untuk memenuhi kepuasan diri sendiri, melainkan untuk memperoleh kepuasan kolektif. Ini menunjukkan bahwa rasa saling memiliki antar sesama pendukung kandidat tertentu yang tidak menerima kekalahan calon yang diusung dapat menciptakan konflik apabila terjadi stimulasi-stimulasi yang mengatasnamakan pendzaliman terhadap kolektifitas yang telah dibangun.
Teori deprivasi relatif yang dikemukakan Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel (1970) menyatakan bahwa kekerasan muncul karena adanya reprivasi relatif yang dialami masyarakat akibat terciptanya kesenjangan antara nilai harapan yaitu harapan terhadap hak untuk menikmati suatu kualitas hidup dengan nilai kapabilitas fakta yaitu kondisi untuk memperoleh harapan tersebut.
Dalam berbagai pengalaman pilkada langsung yang telah diselenggarakan di berbagai daerah di Indonesia, konflik yang terjadi antara lain : konflik antara kandidat dengan KPUD, konflik antar kandidat serta konflik antar pendukung. Konflik antara kandidat dengan KPUD dapat terjadi apabila kandidat menggunakan mekanisme legal untuk melawan keputusan KPUD. Pasal 106 UU Pemerintah Daerah disebutkan "Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutus sengketa hasil penetapan perhitungan suara Pilkada & Pilwakada dan KPUD." Sengketa pilkada yang menggunakan jalur ini dapat dilihat pada kasus Pilkada Sulawesi Barat dimana pasangan Salim Mengga dan Hatta Dai menggugat keputusan KPUD Sulbar.
Konflik antar kandidat dapat terjadi apabila kandidat memiliki ketidakpuasan atas cara-cara yang dilakukan oleh kandidat lainnya dalam memenangkan pilkada. Ketidakpuasan ini diekspresikan menggunakan jalur yang disediakan oleh peraturan perundangan.
Potensi konflik yang paling mengkhawatirkan adalah konflik antar pendukung. Pengerahan massa yang tidak terkendali akibat ketidakpuasan kolektif akan menghasilkan anarkisme. Di sini dibutuhkan moralitas politik para pemimpin yang bertikai jangan sampai para pemimpin mengedepankan konsep Machiavelli dalam meraih kekuasaan. Menurut Machiavelli, kekuasaan adalah lingkaran setan yang tidak bermoral karena seringnya menghalalkan segala cara. Seorang penguasa menurutnya adalah orang yang sanggup meraih dan mempertahankan kekuasaan, lepas dari dimensi etis yang digunakan.
Peran media massa sangat dibutuhkan sebagai agent of change dengan independensinya untuk tidak mewartakan secara berlebihan gejolak-gejolak yang timbul di masyarakat karena dapat menjadi stimulan bagi gerakan-gerakan lainnya. Selain itu, media massa diharapkan mensosialisasikan mekanisme penyelesaian sengketa pilkada agar masyarakat memahami bahwa kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan atas nama demokrasi justru melakukan proses dekonstruksi terhadap demokrasi yang sedang dibangun.
Partai pendukung sebagai simpul-simpul massa harus memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Pasal 9 UU No 31/2002 tentang partai politik menyebutkan, partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, partai politik wajib menciptakan iklim yang kondusif dalam pentas politik. Partai politik harus menjadi garda terdepan dalam mencegah meluasnya konflik.

DAFTAR RUJUKAN
1. Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Undang-undang nomor 31 tahun 2002 tentang parpol.
3. http://www.suaramerdeka.com/
4. http://www.gatra.com/
5. http://www.hukumonline.com/
6. The wahid institute.com
7. Catatan kuliah Hukum Pemerintahan Daerah oleh Bapak Djayus, S.H. , M.Hum. (dosen pada jurusan HTN Fakultas hukum universitas Jember)



[1] Dr. Sofiati M.Pd. Evaluasi Pilkada langsung. http://www.suaramerdeka.com/. Diakses tgl 10 Mei 2008
[2] Independent news: Pilkada, Sistem yang efisien dan hemat pembiayaan. Jakarta 6 september 2006.
[3] M Fajrul Falaakh Fakultas Hukum UGM, Anggota Komisi Hukum Nasional.www. kompas.com. diakses tanggal 11 mei 2008