Wednesday, March 26, 2008

HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

Oleh, Ahmad Badawi

1. PENGERTIAN PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.
Perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungi suatu sistem sosial. Revolusi nasional, pembentukan suatu lembaga pembangunan desa, pengadopsian metode keluarga berencana oleh suatu keluarga, adalah merupakan contoh-contoh perubahan sosial Perubahan, baik pada fungi maupun struktur social adalah terjadi sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan tersebut di atas. Struktur suatu sistem terdiri dari berbagai status individu dan status kelompok-kelompok yang teratur.
Berfungsinya struktur status-status itu merupakan seperangkat peranan atau perilaku nyata seseorang dalam status tertentu. Status dan peranan saling mempengaruhi satu sama lain. Status guru sekolah misalnya, menghendaki perilaku-perilaku tertentu bagi seseorang yang menduduki posisi itu, dan mempengaruhi tingkah laku orang tersebut. Mungkin saja seseorang menyimpang jauh dari seperangkat tingkah laku yang diharapkan (karena dia menduduki posisi status tertentu), tetapi statusnya mungkin berubah. Fungsi sosial dan struktur sosial berhubungan sangat erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam proses perubahan social, jika salah satu berubah, maka yang lain akan berubah juga. Berdirinya atau ditetapkannya organisasi kampus yang baru, mempengaruhi struktur social universitas karena didefinisikannya seperangkat
fungsi baru di sana. Jika seseorang (pejabat) ";mulai berfungsi dalam status baru itu, mereka mungkin mempengaruhi fungsi universitas secara keseluruhan.

2. TEORI-TEORI TENTANG HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL
Menurut Max Webber perkembangan hukum materil dan hukum acara, mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju dmana hukum disusun secara sistimatis, serta dijalankan oleh orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan dan latihan-latihan dibidang hukum. Tahap-tahap perkembangan hukum ini oleh Max Weber lebih banyak merupakan bentuk-bentuk yang dicita-citakan dan menonjolkan kekuatan-kekuatan sosial manakah yang berpengaruh dalam pembentukan hukum pada tahap-tahap yang bersangkutan. Hal yang sama juga ditafsirkan terhadap teorinya tentang nilai-nilai ideal dari sistem hukum, yaitu rasional dan irrasional.
Emile Durkheim berpendapat yang pada pokoknya menyatakan hukum merupakan refleksi dari pada solidaritas sosial dalam masyarakat. Menurutnya didalam masyarakat terdapat dua macam solidaritas, yaitu yang bersifat mekanis (mechanical solidarity), dan yang bersifat organis (organic solidarity). Solidaritas yang mekanis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang sederhana dan homogen, dimana ikatan pada warganya didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi serta tujuan yang sama. Sedangkan solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang heterogen dimana terdapat pembagian kerja yang kompleks.
Dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi yang kolektif terhadap pelanggaran-pelanggaran kaidah-kaidah hukum yang bersifat refresif berubah menjadi hukum yang bersifat resitutif. Dimana tekanan diletakkan pada orang yang menjadi korban atau yang dirugikan, yaitu bahwa segala sesuatu harus dikembalikan pada keadaaan sebelum kaidah-kaidah tersebut dilanggar. Akan tetapi teori dari Durkheim agak sulit untuk dibuktikan. Richard Schartz dan James C. Miller dalam suatu penelitian ternyata bertentangn dengan teori Durkheim tentang perkembangan dari hukum represif ke hukum restitutif. Namun demikian bukanlah berarti bahwa teorinya sama sekali tidak berguna, karena ada hal-hal tertentu yang berguna untuk menelaah sistim-sistim hukum dewasa ini, misalnya apa yang dikemukakannya tentang hukum yang bersifat represif berguna untuk memahami pentingnya hukuman.
Teori lainnya lagi yang menghubungkan hukum dengan perubahan-perubahan sosial adalah pendapat Hazairin tentang hukum adat. Dikatakannya bahwa baik secara langsung maupun tidak langsung seluruh lapangan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan (khususnya dalam hukum adat) yang akhirnya meningkat menjadi hubungan tara hukum dengan adat. Adat merupakan resapan (endapan) kesusilaan di dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan secara umum dalam masyarakat tertentu.



3. HUBUNGAN HUKUM DENGAN PERUBAHAN SOSIAL
Pada dasarnya perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh dua faktor saja, yaitu faktor interen antara lain pertambahan penduduk atau berkurangnya penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan (konflik); atau juga karena terjadinya suatu revolusi. Sedangkan ekstern meliputi sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan dan sebagainya. Hal-hal yang mempermudah atau memperlancar terjadinya perubahan sosial antara lain adalah apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat-masyarakat lain, sistim lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen maupun ketidak puasan masyarakat terhadap kehidupan tertentu dan lain sebagainya. Sedangan faktor-faktor yang memperlambat terjadinya perubahan sosial antara lain sikap masyarakat yang mengagung-agungkan masa lampau (teradisionalisme), adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat (vested-interest), prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing dan sebagainya.
Sebaliknya dalam perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badang pelaksana hukum.
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Dan jika hal semacam ini terjadi maka terjadilah suatu “social lag” yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidak seimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.
Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosialnya atau sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakekatnya merupakan suatu gejala wajar didalam masyarakat bahwa terjadi perbedaan antara pola-pola perilakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena hukum pada hakekatnya disusun atau disahkan oleh bagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaan dan wewenang. Tertinggalnya hukum pada bidang-bidang lainnya baru terjadi apabila hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada suatu ketika tertentu. Suatu contoh dari adanya lag dari hukum terhadap bidang-bidang lainnya adalah hukum perdata (barat) yang sekarang berlaku di Indonesia.
Tertinggalnya hukum oleh perkembangan bidang-bidang lainnya seringkali menimbulkan hambatan-hambatan terhadap bidang-bidang tersebut. Misalnya dalam KUHP (psl 534) tentang pelanggaran kesusilaan dapat menghambat pelaksanaan-pelaksanaan program Keluarga Berencana di Indonesia. Selain itu, tertinggalnya kaidah-kaidah hukum juga dapat mengakibatkan terjadinya anomie, yaitu suau keadaan yang kacau, oleh karena tidak ada pegangan bagi para warga masyarakat untuk mengukurkegiatannya. Misalnya saja tidak ada hukum perkawinan yang mengatur hubungan perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan.
Sebaliknya pengaruh hukum terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya adalah sangat luar biasa, misalnya hukum waris. Hukum mempunyai pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Dan apabila hukum membentuk atau mengubah basic institutions dalam masyarakat, maka terjadi pengaruh yang langsung.

4. HUKUM SEBAGAI SOCIAL ENGINEERING DAN SOCIAL CONTROL
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat (social engineering) di sini adalah dalam arti bahwa hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change (pelopor perubahan). Yang dimaksud dengan agent of change ini adalah seorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Untuk mempengaruhi masyarakat dalam mengubah sistim sosial, teratur dan direncanakan terlebih dahulu yang dinamakan dengan social engineering atau social planning. Tetapi memfungsikan hukum sebagai sarana perubahan sosial tidak mudah karena seringkali hukum harus berhadapan dengan budaya hukum masyarakat.
Perubahan-perubahan yang direncanakan dan dikehendaki oleh warga masyarakat sebagai pelopornya merupakan tindakan-tindakan yang penting dan mempunyai dasar hukum yang sah. Akan tetapi hasil yang positif tergantung pada kemampuan pelopor perubahan untuk membatasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya disorganisasi sebagai akibat dari perubahan yang terjadi untuk memudahkan proses reorganisasi.
Sebagai sarana kontrol sosial, hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap dapat berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya (Soerjono Soekanto, 1973). Dalam hal ini hukum mempertahankan apa saja yang telah diterima dalam masyarakat.

5. PERUBAHAN YANG TERJADI DI MASYARAKAT SETELAH DI UNDANGKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1992.
Setelah di undangkannya UU No.14 Tahun 1992 tentang lalu-lintas angkutan jalan, terjadi kehebohan dalam masyarakat yang bahkan menyebabkan demonstrasi memprotes undang-undang tersebut terutama kewajiban memakai helm dan sabuk pengaman yang apa bila dilanggar dikenai pidana denda yang menurut masyarakat pada saat itu sangat berat.
Setelah melalui waktu yang agak lama, masyarakat mulai menerima dan menyadari akan pentingnya undang-undang tersebut untuk menanggulangi kecelakaan lalu-lintas.
Dikeluarkannya undang-undang ini termasuk dalam kategori perubahan hukum yang menyebabkan perubahan sosial, yaitu masyarakat pada saat sebelum di undngkannya undang –undang tentang lalu-lintas enggan memakai helm atau sabuk pengaman, maka setelah diundangkan undang-undang lalu-lintas maka masyarakat mulai mengguanakan helm ataupun sabuk pengaman.
Bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, pengetahuan masyarakat terhadap hukum. Tanpa pengetahuan yang cukup, masyarakat tidak akan berperilaku sesuai dengan keinginan hukum. Dengan mengetahui keberadaan, tujuan dan manfaat pembuatan suatu hukum beserta sanksi-sanksinya bila dilanggar, diharapkan masyarakat berperilaku sesuai harapan dan tujuan pembuatan hukum tersebut. Memberi pengetahuan kepada masyarakat biasanya dilakukan melalui sosialisasi seperti talk show, pemuatan berita atau artikel di media massa, dan lain-lain.
Kedua, eksistensi lembaga hukum. Keberadaan lembaga hukum sangat penting bagi bekerjanya hukum. Tanpa keberadaan lembaga hukum, hukum hanya merupakan tulisan di atas kertas karena tidak bisa dijalankan. Namun demikian, meskipun lembaganya telah tersedia (dalam bidang lalu lintas adalah lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang, Departemen atau Dinas Perhubungan sebagai regulator, Polri sebagai pengawas agar masyarakat berperilaku sesuai aturan dan penindak jika terjadi pelanggaran, serta Pengadilan sebagai lembaga yang menjatuhkan sanksi), hukum tidak serta merta bisa bekerja sekalipun masyarakat telah mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai hukum.
Ketiga, penegakan hukum. Energi yang digunakan untuk menghasilkan produk hukum menjadi sia-sia tanpa adanya tindakan hukum bagi para pelanggarnya. Penegakan hukum menjadi upaya kuratif agar masyarakat tetap berperilaku sesuai hukum.
Terakhir, faktor yang paling mempengaruhi bekerjanya hukum adalah budaya hukum masyarakat. Budaya hukum oleh Friedman diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai sikap dan nilai-nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada.
Keempat faktor tersebut secara bersama-sama menentukan apakah hukum dapat dijalankan. Jika salah satu faktor tersebut tidak ada, maka hukum tidak akan dapat berjalan atau menjalankan fungsinya. Sehingga keempatnya harus terdapat dalam sistem hukum.
Jika hukum sudah menjalankan fungsinya maka hukum dapat menyebabkan perubahan social seperti tersebut di atas.

Monday, March 3, 2008

Harkat dan Martabat Bangsa

Karakteristik Wilayah Perbatasan
Pada dasarnya terdapat tiga aspek pokok yang mendasari karakteristik daerah perbatasan, yaitu aspek :
(i) sosial ekonomi,
(ii) pertahanan keamanan,
(iii) politis.

(i) Aspek sosial ekonomi daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik daerah yang kurang berkembang (terbelakang) yang disebabkan antara lain oleh:
(a) lokasinya yang relatif terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah,
(b) rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat,
(c) rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal),
(d) langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan (blank spots).

(ii) Aspek hankam daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik luasnya wilayah pembinaan dan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintahan sulit dilaksanakan, serta pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dan mantap dan efisien.

(iii) Aspek politis daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik kehidupan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan yang relatif lebih berorientasi kepada kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga. Kondisi tersebut potensial untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, terdapat kecenderungan untuk bergeser ke soal politik. Disamping itu, kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan yang relatif sangat tergantung pada perekonomian negara tetangga, dapat menurunkan harkat dan martebat bangsa.
Profil Kawasan Khusus Wilayah PerbatasanWilayah perbatasan nagara kesatuan Republik Indonesia dengan negara tetangga secara keseluruhan membentang dari pantai timur Sumatera, perbatasan darat Kalimantan, perbatasan laut Sulawesi Utara, daerah Maluku Utara dan Halmahera Tengah, serta perbatasan darat antara Jayapura dengan Merauke di Irian Jaya. Secara keseluruhan, daerah perbatasan dengan negara tetangga mencakup tujuh wilayah propinsi daerah tingkat I yang terdiri atas 24 wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II. Ketujuh propinsi daerah tingkat I tersebut adalah: (i) Daerah Istimewa Aceh, (ii) Sumatera Utara, (iii) Riau, (iv) Kalimantan Barat, (v) Kalimantan Timur, (vi) Sulawesi Utara, dan (vii) Irian Jaya. Secara umum daerah perbatasan dengan negara tetangga di Indonesia dapat dibagi menjadi empat macam daerah perbatasan yang didasarkan pada gugus/kelompok propinsi, yaitu: (i) daerah perbatasan Sumatera bagian timur yang terdiri atas wilayah lautan dan pulau-pulau kecil, (ii) daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur yang merupakan perbatasan wilayah darat, (iii) daerah perbatasan Jayapura-Merauke yang merupakan perbatasan wilayah darat, dan (iv) daerah perbatasan Sulawesi Utara yang meliputi wilayah lautan dan kepulauan. Dari pengelompokkan propinsi yang menunjukkan tipologi dari daerah perbatasan di atas, dapat dikelompokkan pola keterkaitan yang ada antara dua atau lebih negara/propinsi/wilayah yang berbatasan sebagai berikut:

a. pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Sumatera bagian timur dengan wilayah Malaysia, Singapura, dan Thailand, relatif kurang dekat dan tidak langsung, karena dibatasi oleh perairan Selat Malaka; dengan perkecualian pola keterkaitan yang relatif telah maju dan pesat pada segitiga pertumbuhan IMS-GT/SIJORI antara Singapura, Johor, dan Riau (Pulau Batam);

b. pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Propinsi Kalimantan Barat dengan Negeri Sarawak dan antara Propinsi Kalimantan Timur dengan Negeri Sabah, relatif berhubungan langsung satu sama lain karena merupakan perbatasan darat, serta dengan kondisi yang berbeda satu sama lain, dimana wilayah Malaysia relatif lebih maju dibandingkan dengan wilayah Indonesia sehingga terjadi kecenderungan perubahan orientasi kegiatan sosial ekonomi penduduk di wilayah Indonesia ke wilayah Malaysia;

c. pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Propinsi Sulawesi Utara dengan Propinsi Mindanao di Filipina Selatan yang relatif kurang intensif tidak langsung karena relatif jauh dan dibatasi oleh perairan dalam dan wilayah kepulauan; namun demikian, kecenderungan kegiatan sosial ekonomi masyarakat kepulauan yang ada di Kepulauan Sangihe dan Talaud mengarah kepada negara tetangga yang relatif lebih maju perekonomiannya;

d. pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Propinsi Irian Jaya dan Negara Papua Nugini yang relatif berhubungan langsung satu sama lain, dimana kondisi perekonomian kedua wilayah yang berbatasan tersebut relatif sama namun belum terjadi kegiatan perdagangan atau ekonomi yang intensif diantara keduanya.

Saat Presiden Soekarno mengumandangkan ganyang Malaysia pada tahun 1963, sebagian analis menganggap Soekarno termakan provokasi Negara-negara imperialis (intelijen). Terlepas absurditas PKI dengan komunismenya, peristiwa G30S juga dianggap hasil provokasi Inggris (intelijen) dengan isu Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal. Pola sama mungkin dapat diibaratkan ketika Saddam Hussein terjebak provokasi Barat (intelijen) untuk memberi keyakinan baginya memerangi Iran, dan dekade berikutnya menganeksasi Kuwait yang kesemuanya berujung sia- sia.

Bagaimana menyikapi perilaku Malaysia dalam sengketa Ambalat. Apakah harus mengikuti arus emosional menempuh jalan perang? Perundingan bilateral, menerima fasilitator atau apakah memanfaatkan lembaga internasional? Sampai akhirnya disepakati memanfaatkan konvensi hukum laut PBB : UNCLOS 1982 (United Nations of Convention on the Law of the Sea).

Kalaulah berpikir jernih, ada sesuatu ketidakwajaran dalam sengketa ini karena tiba-tiba saja kita kaget tingginya suhu "panas" di sebahagian wilayah timur Indonesia bagai akan terjadi perang terbuka dengan Malaysia di tengah rasa prihatin yang mendalam atas tewasnya ribuan manusia akibat bencana tsunami di Aceh, longsor sampah dan naiknya harga BBM. Kalaulah benar sengketa ini juga bagian dari upaya provokasi pihak-pihak tertentu apakah Indonesia tidak semakin terjerumus dalam kubangan krisis?

Sebagai bangsa kita memang sangat bersabar saat tingkah polah pemimpin Singapura selama ini kerap menghina harkat dan martabat Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Bagaimana saat Lee Kuan Yew mantan Perdana Menteri Singapura paranoid terhadap Negara-negara tetangganya sehingga selalu berkomentar kasar dan angkuh tentang Indonesia. Misalnya pada 1990-an dia pernah menyatakan di depan para petinggi Singapura bahwa Soekarno hanya pintar berorasi.

Di lain waktu Presiden Abdurrahman Wahid yang sempat marah karena Lee Kuan Yew terlalu banyak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Saking jengkelnya, Gus Dur bahkan sempat mengancam akan menghentikan semua pasokan sumber daya alam ke Singapura.

Presiden Habibie juga pernah gusar ketika Lee Kuan Yew berkomentar bahwa beliau tidak akan sanggup memperbaiki perekonomian negeri ini. Belakang hari terbukti bahwa Habibie berhasil menurunkan nilai tukar rupiah, serta tidak pernah menaikkan harga BBM, bahkan sebaliknya sebagai satu-satunya presiden Indonesia yang berhasil menurunkan harga BBM.

Terakhir pemimpin tua bangka ini juga beberapa kali pernah mengumbar keangkuhannya terhadap rakyat Indonesia dengan tuduhan-tuduhan emosional tanpa bukti serta senantiasa berbau sentimen ras dan agama, tidak peduli menyinggung para jirannya apa tidak.