Friday, November 21, 2008

ANTARA KITA, INTROVERT DAN PEMALU
Mendengar atau membaca kata introvert dan pemalu mengingatkan kita akan diri kita sendiri, pada awalnya kita mungkin berpikir bahwa antara introvert dan pemalu adalah dua hal yang tidak berbeda, introvert dengan kata lain pemalu atau pemalu dengan lain kata adalah introvert. Padahal jika dilihat dari kacamata ilmu psikologi dua hal tersebut adalah sangat berbeda.
Di benak kita jika melihat orang yang pendiam ( ikut aliran kebatinan kali……hehehe) maka aku berpikir bahwa orang ini adalah introvert karena dia tak mau terbuka pada orang lain atau terkesan menjaga jarak, atau dengan kata lain aku menyebutnya dengan PEMALU.
Secara faktual introvert dan pemalu memiliki makna yang berbeda, meski ada keterkaitan antara keduanya. Tidak semua orang yang introvert adalah orang yang pemalu dan introvert sendiri adalah bukan rasa malu.
Orang yang introvert pada dasarnya adalah orang yang menyukai kesendirian bebas dari hiruk pikuk social akan tetapi bukan berarti kemampuan social orang introvert buruk, dia bisa berbaur dalam lingkungan social, energy orang introvert akan terkuras jika berlama-lama masuk dalam hiruk pikuk social. Introvert lebih memperhatikan dunia di dalam pikiran mereka sendiri, mereka menikmati berfikir, mengeksplorasi pikiran dan perasaan sendiri. seorang introvert tidak berarti mereka tidak memiliki kemampuan bicara, akan tetapi mereka lebih suka bicara mengenai masalah ide dan konsep, bukan mengenai pendapat mereka tentang topik-topik sosial yang tidak penting, (mungkin seperti guyonan-guyonan yang tidak penting)ketika seorang yang introvert ingin menyendiri, bukan berarti mereka dalam kondisi depresi atau sejenisnya, tapi mereka butuh waktu untuk berfikir dan introspeksi. meskipun mereka berkumpul bersama orang-orang yang paling klop dengan mereka, tapi tetap saja mereka merasa kurang nyaman untuk berfikir di kondisi seperti itu.
Bandingkan dengan rasa malu yang merupakan elemen dari rasa cemas, gugup, dan kuatir. Rasa malu cenderung mempengaruhi pergaulan sosial, seperti berbicara di depan umum, mengemukakan pendapat dalam suatu forum, berbicara dengan orang lain dan sebagainya. Gejala fsik ditandai dengan perut mulas, jantung berdebar-debar, gemetaran, dll. mereka cenderung lebih banyak diam daripada bicara. Oleh karena itu, saat kita bertemu dengan seorang yang tampak pendiam, jangan buru-buru memvonis mereka sebagai seorang yang sombong, mungkin saja mereka pemalu. Yang perlu dilakukan saat berhadapan dengan orang yang memiliki rasa malu berlebihan adalah dengan membuat mereka merasa nyaman dengan keberadaan kita dan tidak menjauhi mereka karena dengan menjauhi mereka malah akan semakin membuat mereka rendah diri.
Nah, bolehlah kita melihat pada diri sendiri, apakh kita masuk kategori Introvert atau pemalu atau malah ekstrovert alias tak tahu malu (hehehe). Dalam masalah ini tak ada yang lebih baik antara introvert dan pemalu, masing-masing ada kekurangan dan kelebihannya……..wallahu`alam bissowab

Monday, November 17, 2008

Pencarian Cinta Sang Pujangga Edan

Salaaam,
Setelah ditunggu dan menunggu cukup lama akhirnya Don Koumeez Capone alias Mohammad Fahmi seorang yang dapat dikatakan sebagai seorang pujangga edan menjadi agak “gila” karena cinta, kembali menelurkan karya-karya tebarunya, yang diposting oleh pengasuh pada bulan ini.
Karya-karya tersebut berisi perjalanan panjang Pujangga Edan Don Koumeez Capone dalam mencari cinta sejatinya, dan jeritan-jeritan hati (ceileee….) yang dia tuangkan dengan sangat apik kedalam barisan-barisan kata-kata penuh makna mengalir dengan tenang tapi penuh dengan riak-riak ( eeh gimana seh? Hehe).
Patut juga di tunggu karya-karya selanjutnya dari Sang pujangga Edan, karena dengar-dengar (sssst jgn bilang-bilang ya……) dia sudah menemukan cintanya………tak tahu apakah itu bener-bener cinta sejati ato bukan…….. at lease karyanya patut di tunggu……………..
Memang seeh jika bicara tentang cinta pasti ga akan ada habis-habisnya, jadi ingat dengan ungkapan bahasanya Aristoteles yang menyebutkan bahwa AMOR VINCIT OMNIA alias Cinta Mengalahkan Segalanya, seperti halnya yang terjadi pada sang Pujangga Edan karena cinta Ia kehilangan “kewarasannya” ( sorry Bung…..hehehe), DELIRIANT ISTI KOUMEEZ, Komeez memang “gila” (dari asal ungkapan Deliriant isti Romani) tapi jika Sang pujangga Edan kembali waras maka kita tidak akan menikmati karya-karyanya……jadi tetaplah pada keadaan semula hai Pujangga Edan………………………….
TOT ZIEN,
Wassalamualikum………..
Pengasuh Blog Freedom


DAUN
AKU suka mengoleksi daun-daun, kenapa? Karena AKU merasa bahwa daun untuk meninggalkan pohon yang selama ini ditinggali membutuhkan banyak kekuatan. Selama 3 thn AKU dekat dengan seorang bukan sebagai pacar tapi "Sahabat"Perasaan di hati ini tidak bisa digambarkan dengan menggunakan Lemon. Tapi ketika dia mempunyai pacar untuk yang pertama kalinya... AKU mempelajari sebuah perasaan yang belum pernah aku pelajari sebelumnya - CEMBURUHal itu seperti 100 butir lemon busuk. Mereka hanya bersama selama 2 bulan... Ketika mereka putus, AKU menyembunyikan perasaan yang luar biasa gembiranya. Tapi sebulan kemudian dia bersama seorang lagi... AKU menyukainya dan AKU tau bahwa dia juga menyukaiku, tapi mengapa dia tidak mau mengatakannya? Jika dia mencintaiku, mengapa dia tidak memulainya dahulu untuk melangkah? Ketika dia punya pacar baru lagi, hatiku sedih... Waktu berjalan dan berjalan, hatiku sedih dan kecewa... AKU mulai mengira bahwa ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan... Tapi..mengapa dia memperlakukanku lebih dari sekedar seorang teman? Menyukai seseorang sangat menyusahkan hati...AKU tahu kesukaannya...kebiasaannya... Tapi perasaannya kepadaku tidak pernah bisa diketahui... Kau tidak mengharapkan AKU untuk mengatakannya bukan ? Diluar itu, AKU mau tetap disampingnya...memberinya perhatian...menemani...dan mencintainya...Berharap suatu hari nanti dia akan datang dan mencintaiku... Hal itu seperti menunggu telephonenya tiap malam...mengharapkan mengirimku SMS mengirimku SMSAKU tau sesibuk apapun dia, pasti meluangkan waktunya untuk ku... Karena itu, AKU menunggunya... 3 tahun cukup berat untuk kulalui dan AKU mau menyerah...Kadang AKU berpikir untuk tetap menunggu... Dilema yang menemaniku selama 3 tahun ini... Akhir tahun ke-3, seorang mengejarku...setiap haridia mengejarku tanpa lelah... Segala daya upaya telah dilakukan walau seringkali ada penolakan dariku...AKU berpikir...apakah aku ingin memberikan ruang kecil di hatiku untuknya ?!.. Dia seperti angin yang hangat dan lembut, mencoba meniup daun untuk terbang dari pohon... Akhirnya, AKU sadar bahwa AKU tidak ingin memberikan Angin ini ruang yang kecil di hatiku... AKU tau Angin akan membawa pergi Daun yang lusuh jauh dan ketempat yanglebih baik... Akhirnya AKU meninggalkan Pohon...tapi Pohon hanya tersenyum dan tidak memintaku untuk tinggal... AKU sangat sedih memandangnya tersenyum ke arahku... "DAUN terbang karena ANGIN bertiup atau karena POHON tidak memintanya

ASAL-USUL Cinta
Dalam novel berbahasa Italia, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Jawablah Aku diterbitkan Gramedia, Susanna Tamaro melukiskan ”aku” tokoh utamanya, yang hidup terbuang dan merana karena tak pernah memperoleh cinta. Ia terus-menerus didera pertanyaan, apa artinya cinta, dan cinta pun lalu terasa menjadi tema pokok kisah hidupnya.
Lama-kelamaan, seiring dengan makin matangnya kepribadiannya, sang ”aku” menyadari bahwa ia tampaknya keliru, telah terlalu banyak bertanya tentang apa makna cinta, tapi tak pernah terlintas dalam benaknya untuk berpikir tentang apa hidup.
Apakah Susanna hendak menyatakan hidup lebih penting dari cinta karena bukankah orang—juga sang ”aku”—masih bisa juga hidup tanpa cinta? Di dalam novel itu, dan barangkali dipertegas oleh ilustrasi sampulnya, hidup hanya seberkas bayangan hitam dalam cahaya jingga yang mulai kelam. Kita disuruh menyimpulkan, seolah hidup makin menuju pada segala yang kelam dan ketidakjelasan?
Susanna membiarkan sang ”aku” dalam kegelisahannya. Dalam cerita Simon dan Orang Bercahaya, Jacob Grimm juga melukiskan anak kecil yang hidup tanpa ibu. Tapi di sana dengan jelas digambarkan, manusia bisa hidup tanpa cinta seorang Ibu, tapi tidak tanpa Tuhan. Artinya, sebenarnya kita tak bisa hidup tanpa cinta.
Dan seperti dalam cerita Simon dan Orang Bercahaya, Susanna pun membawa kita pada renungan bahwa dalam hidup, biarpun tanpa cinta, dan di saat kita sendirian, tampaknya selalu ada ”seseorang” yang mendampingi kita.
Dengan kata lain, kita selalu didampingi cinta. Tapi kita sering tak tahu. Dan kita tak menyadarinya. Maka, kita pun—seperti juga sang ”aku”—selalu bertanya apa makna cinta. Mungkin, sebabnya, karena ada dua jenis cinta. Pertama, cinta yang berisik dan nyinyir, yang harus lahir dalam bentuk kata-kata. Cinta jenis ini mungkin tampak cerdas, penuh argumen, penuh penjelasan, dan karena itu bisa menggema ke mana-mana. Tapi cinta macam ini agak mudah diobral. Soalnya cinta bisa diperoleh dengan cepat dan risikonya bisa dilupakan dengan cepat pula. Cinta, jatuh cinta, dan menerima cinta, menjadi urusan teknis dan rutin, seperti urusan birokrasi kantor.”Jadi ini bukan cinta?” Tetap cinta juga namanya. Tapi ini jenis cinta hiasan bibir. Kita punya cinta dalam sosok lain lagi.
Ini cinta dalam renungan Gibran.
”Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki
Karena cinta telah cukup untuk cinta
Cinta tiada berkeinginan selain untuk
mewujudkan maknanya”
Dan bagi Gibran, bila benar orang memiliki cinta, maka ia tak akan berkata ”Tuhan ada di dalam hatiku”, melainkan sebaliknya: ”Aku berada di dalam Tuhan”.
Saya kira, ini jelas bukan cinta hiasan bibir, melainkan mahkota hati. Ini bukan cinta yang meriah dan ceriwis, melainkan cinta yang diam, tak terukur, tak bisa dipamerkan di depan siapa pun.
”Bagaimana cinta kita kepada Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW? Cinta kita hiasan bibir? Ceriwis? Atau cinta sebagai mahkota hati, yang dalam, tak terluka dan tak akan mudah luka? Dan karena kesejatiannya, maka kita tak khawatir apa-apa, biarpun beliau diejek orang?
Difitnah tak membuat beliau terfitnah. Diburukkan tak membuat beliau buruk. Beliau jiwa mulia hingga para malaikat dan bahkan Tuhan pun selalu bersalawat siang dan malam?
Pertanyaan ini serba tak mengenakkan. Kalau dijawab cinta kita hanya hiasan bibir, mertua sendiri bisa tak enak hati. Kalau jawabnya cinta kita wujud mahkota hati, yang dalam, dan tulus, bisa dikira tak berjejak di bumi.
Maka, begini sajalah, lupakan diskursus ruwet tentang cinta itu. Mari kita merenung seperti Susanna, tentang hidup.
“Pernahkah kita memberi contoh pada dunia cara kita menghina Gusti Kanjerng Nabi?”
”Demi Allah, tidak. Kita memuliakan beliau siang dan malam.”
”Pernahkah beliau menyuruh kita jujur?”
”Itu salah satu ajarannya.”
”Mengapa kita tidak jujur? Bukankah itu menghina beliau, menghina Islam, dan menghina Allah?”
”Beliau menyuruh kita gigih menuntut ilmu?”
”Ya. Sampai di negeri China sekali pun.”
”Mengapa kita malas dan mudah putus asa, hingga kita menjadi komunitas yang terbelakang, bodoh dan miskin, dan tak pernah bisa sama dengan pihak lain yang menguasai dunia?”
”Kita rajin ’ngaji’, tapi mengapa orang lain yang mengamalkan? Mengapa kita puas ’ngaji’ kitab tapi tak pernah ’ngaji’ kehidupan, hingga ilmu kita terbatas pada ilmu kitab, dan terbelakang dalam ilmu hidup? Dan kita tak menguasai teknologi?
Kita mengerti ajaran untuk tidak korup, tapi mengapa kita telan harta anak yatim piatu dan rakyat miskin? Kita tahu harta haram hanya akan menjadi bahan bakar neraka, tapi mengapa kita simpan hasil curian kita di yayasan yang kita bikin?
Apa ini bukan menghina nabi, menghina Islam, dan menghina Allah, seolah Allah bisa dikecoh dengan yayasan?
Kita bicara cinta. Tapi cinta macam apa wujudnya?”
untuk tinggal?"[1]

[1] Oleh Don Koumeez Capone, yg bernama asli Mohammad Fahmi seorang yg menjadi agak “gila” karena cinta dan seorang pujangga edan berdomisili di Kalisat ( editor_Ahmad Badawi)
BENNELAH

Setelah menyimak Diantara Bidadari-bidadari
Aku terlelap berabad-abad
Tercebur dikesunyian Ombak-ombak
Bermimpi diselaksa Tengkorak-tengkorak
Berdansa di Hutan Mimpi-mimpi

Barangkali Aku Menunggu Pergulatan
Atau Diam-diam Malah menyongsongnya
Takterpikir Kalah atau Menang
Karena masih di rundung kabut kebekuan

Debur cemas membangunkanku
Bergema diseluruh Ruangan Jiwa
Dan ketika mataku terbika sempurna

Akupun berDo’a
Agar Aku terlahir lagi Dengan
Bermata Buta
Bertelinga Tuli
Bermulut Bisu
Bernafas Dungu

Yang tak Mampu lagi Mengeja huruf dan Sandi-sandi
Yang kau Tebar di segala Penjuru Mata Hati

Semoga Tuhan meloloskan Aku dalam pertarungan menghadapi musuh yang ku ciptakan sendiri.


CINTA TERNYATA

Sekalipun cinta ku uraikan dengan jelas dan panjang lebar
Namun jika cinta kudatangi aku jadi malu pada keteranganku sendiri
Cinta adalah kekuatan yang mampu mengubah :
Sedih jadi Riang
Amarah jadi ramah
Duri jadi Mawar
Cuka jadi Anggur
Malang jadiUntung
Iblis jadu Malaikat
Penjara jadi Istana
Setan jadi Nabi
Kikir jadi Dermawan
Musibah jadi Muhibbah

Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang
Namun tanpa lidah
Cinta ternyata lebih terang
Sementara pena terus tergesa-gesa menulisnya
Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada Cinta
Dalam menguraikan Cinta Akal terbaring tak berdaya
Bagai aku terpesona oleh kegilaan Cintaku
Cinta sendirilah yang akan menerangkan Hakikat Cinta yang bernaung pada Percintaan Kau

CINTA ...
Adalah ketika kamu menitikkan air mata dan MASIH peduli terhadapnya ...Adalah ketika dia tidak memperdulikanmu dan kamu MASIH menunggunya dengan setia ... Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu MASIH bisa tersenyum sembari berkata 'Aku turut berbahagia untukmu" Apabila cinta tidak tergapai ...BEBASKAN dirimu ... Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnya dan terbang ke alam bebas LAGI ... Ingatlah ... Bahwa kamu mungkin menemukan cinta dan kehilangannya tapi.. ketika cinta itu mati ...kamu tidak perlu MATI bersamanya ... Orang terkuat BUKAN mereka yang selalu menang ... MELAINKAN mereka yang tetap berdiri tegap ketika mereka jatuh ... Entah bagaimana ...dalam perjalanan kehidupan , kamu belajar tentang dirimu sendiri ... dan menyadari bahwa penyesalan tidak seharusnya terjadi ... HANYALAH penghargaan abadi atas pilihan-pilihan kehidupan yang telah kamu buat TEMAN SEJATI adalah ... mengerti ketika kamu berkata "Aku lupa" Menunggu selamanya ketika kamu berkata "Tunggu Sebentar" Tetap tinggal ketika kamu berkata "Tinggalkan aku sendiri" Membuka pintu meskipun kamu BELUM mengetuk? MENCINTAI ... bukanlah bagaimana kamu melupakan ... melainkan bagaimana kamu MEMAAFKAN ... bukan bagaimana kamu mendengarkan ... melainkan bagaimana kamu MENGERTI bukan apa yang kamu lihat ... melainkan apa yang kamu RASAKAN ... bukan bagaimana kamu melepaskan ... melainkan bagaimana kamu BERTAHAN Lebih berbahaya mencucurkan airmata dalam hati ... dibandingkan menangis tersedu-sedu ... Air mata yang keluar dapat dihapus ... sementara airmata yang tersembunyi menggoreskan luka yang tidak pernah hilang ... Dalam urusan cinta , Kamu SANGAT JARANG menang ... Tapi ketika cinta itu TULUS ... meskipun kalah, Kamu TETAP MENANG hanya karena kamu berbahagia ... dapat mencintai seseorang ... LEBIH dari kamu mencintai dirimu sendiri Akan tiba saatnya dimana kamu harus berhenti mencintai seseorang bukan karena orang itu berhenti mencintai kita.. MELAINKAN karena kita menyadari bahwa orang itu akan lebih berbahagia apabila kita melepaskannya Apabila kamu benar-benar mencintai seseorang , jangan lepaskan dia ... Jangan percaya bahwa melepaskan SELALU berarti kamu benar-benar mencintai tapi.. BERJUANGlah demi cintamu Itulah CINTA SEJATI . Lebih baik menunggu orang yang kamu inginkan DARIPADA Berjalan bersama 'yang ada' Kadangkala , orang yang kamu cintai adalah orang yang PALING menyakiti hatimu dan kadangkala, teman yang menangis bersamamu adalah cinta yang tidak kamu sadari...


Sautuddlomier[1]

Kecantikan Adalah Fana
Kecantikan Adalah Tiada
Kecantikan Adalah Sama
Yang membedakan Adalah Akhlak dan Taqwa

Ikhlasmu mengingatkanku pada Khodijah
Taqwamu mengingatkanku pada Umar
Kesabarmu mengingatkanku pada Ayub
Kebijaksanaanmu mengingatkanku pada Muhammad
Kecantikanmu mengingatkanku pada Aisyah
Semua itu mengingatkanku pada penguasa Cinta

Dosa itu nyata
Kau Itu Cinta
Bila Cinta tak dilahirkan
Aku dan kau takkan ada
Jadi Aku dan Kau diciptakan untuk BerCinta




[1] Karya asli tanpa Judul ( edit_Ahmad Badawi)
DHOLLA[1]

Bermacam-macam Perhiasan Telah ku beli
Tapi Hati tetap begitu sepi
Berhari-hari Aku menanti
Mencari cinta yang bernuansa Islami

Beribu Hati telah Ku Daki
Beribu Cinta telah kuberi
Berhari-hari kau ku nanti
Ternyata Cinta Bersemi kembali

Sirotol Mustaqim telah ku titi
Tapi kau belum kembali
Apa Cinta mu telah terkubur Rapi
Ataukah Aku tak sabar Menanti

Dari Hati kini ku Sadari
Hanya kau yang Ada Disisi
Kau datang dengan Berseri-seri
Seperti Mendung yang Dihujani Pelangi

Melihatmu memakai Kerudung
Aku pun jadi Tersanjung
Walau langit kelihatan mendung
Tapi engkau terlihat Anggun

Mata kalbu
Buah jambu
Melihat kau Aku
Terpaku
[1] Dholla : sebuah Ungkapan kekesalan yang lazim diucapkan oleh santri PP Miftahul ulum Sumbertaman Kalisat. (Edit_Ahmad Badawi)

Sunday, June 15, 2008

Mekanisme Penyelesaian Sengketa PILKADA dan Antisipasi Konflik

Semenjak reformasi bergulir di Indonesia keinginan akan terwujudnya demokratisasi kehidupan politik kian terbuka lebar melalui pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung. Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung merupakan salah satu wujud pelaksanaan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Demokrasi menuntut adanya suatu pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Terselenggaranya pilkada memberikan suatu keuntungan bagi masyarakat sebab masyarakat diberikan alternatif pilihan pasangan calon kepala daerah dan wakilnya setelah masing-masing kandidat pasangan calon tersebut mengemukakan visi dan misinya. Dalam pelaksanaan pilkada masyarakat akan memilih sosok calon pemimpin yang mereka paham dan kenal betul. Di samping itu calon kepala daerah itu juga dituntut untuk paham betul tentang potensi dan karakteristik daerah yang bersangkutan.
Dalam kehidupan politik pilkada haruslah dijadikan alat dalam mewujudkan kehidupan politik yang sehat dan bersih. Hakekat meraih kekuasaan dalam kehidupan politik yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung harus disesuaikan dengan makna kehidupan yang demokratis. Antara masing-masing kandidat harus ada persaingan yang sehat atau sportif. Setiap kandidat pasangan calon pun dituntut untuk tidak hanya berorientasi pada proses meraih kekuasaan tetapi lebih dari itu juga dituntut untuk menjalankan kekuasaan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat banyak.
Pilkada pada saat ini sudah memakai system yang sangat baru, meninggalkan system yang lama yaitu penunjukan langsung, yaitu dengan proses pemilihan langsung.
Pilkada ( baik pilkada tingkat I atau pilkada tingkat II) secara langsung oleh rakyat telah dilaksanakan dengan sukses dan demokratis. Lebih dari separuh pemimpin daerah yang saat ini sedang berkuasa merupakan hasil dari pilkada secara langsung. Pilkada secara langsung tidak dapat dilepaskan dari proses penguatan demokrasi lokal dalam mendukung tujuan otonomi daerah. Pilkada langsung diyakini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pencapaian keseimbangan tata pemerintahan di tingkat provinsi, yang pada gilirannya berimplikasi terhadap peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pelayanan publik.
Sejak Juni 2005, pilkada langsung telah dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Analisis dan evaluasi pilkada langsung hasil riset LAN tahun 2007 menunjukkan bahwa penyelenggaraannya belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Implementasi di lapangan masih menyisakan sejumlah persoalan yang sifatnya mendasar. Ada bagusnya jika hasil evaluasi dijadikan acuan dalam melakukan perbaikan kinerja KPUD di masa yang akan datang. Hasil Kajian Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung yang dilakukan oleh Pusat Kajian Diklat Aparatur I pada tahun 2007 di delapan daerah yang melakukan pemilihan kepala daerah langsung (LAN I, 2007), memetakan permasalahan-permasalahan yang terjadi. Delapan daerah yang diteliti adalah pemilihan gubernur dan wakil gubernur di provinsi Gorontalo dan Banten, pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten Muaro Jambi, Bekasi, Kulon Progo dan Tuban, serta Walikota dan wakil walikota Kotamadya Batam dan Salatiga.[1]
Secara umum pelaksanaan pilkada langsung di daerah-daerah ini telah berlangsung dengan baik. Akan tetapi ada beberapa permasalahan yang masih muncul dalam pelaksanaan pilkada langsung yang berkaitan dengan aspek kelembagaan, tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaannya. Masalah yang berkaitan dengan aspek kelembagaan meliputi netralitas dan profesionalisme KPUD. Antara lain sulitnya anggota KPUD mempertahankan integritas pribadinya terhadap incumbent serta sulitnya tercipta sinergi antara anggota KPUD dan sekretariat KPUD di dalam penyelenggaraan pilkada. Dan beberapa masalah yang menyangkut panitia pengawas pemilu, yaitu kurangnya independensi panwaslu, dan peraturan perundang-undangan yang ada masih belum memberikan ruang gerak yang cukup bagi panwas untuk melakukan pengawasan dan menangani pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Gregorius Sahdan (CSIS, 2005) mengidentifikasi lima bentuk konflik dalam pilkada yaitu pertama adalah konflik administrasi yang bersumber dari diskriminasi dalam penetapan calon kepala daerah oleh KPUD; kedua konflik internal partai akibat calon dari arus bawah tidak direstui oleh partai pusat; ketiga konflik elite politik dengan KPUD akibat adanya keputusan KPUD yang tidak mau menetapkan calon dari partai yang bermasalah; dan keempat konflik antara massa dengan KPUD akibat dari massa tidak menerima calonnya tidak lulus verifikasi oleh KPUD dan yang terakhir adalah konflik antar massa pendukung akibat ketidakmauan mereka menerima kekalahan.
Progo Nurjaman, Kepala Desk Pilkada dari Departemen Dalam Negeri (dalam seminar yang diselenggarakan CSIS pada tanggal 30 Agustus 2005 dengan tema Pilkada : Masalah dan Prospek menyampaikan upaya-upaya pemerintah dalam menyelamatkan Pilkada) Pilkada meskipun dilaksanakan di tingkat lokal, implikasinya akan mencapai tingkat nasional juga. Setelah UU No. 32/2004 ditetapkan Oktober 2004, beberapa hal penting telah diproses. Salah satunya adalah pembentukan PP MRP bersama-sama dengan tokoh masyarakat, kemudian dilanjutkan dengan PP Pilkada terlepas dari keterbatasan waktu dan pendanaan mengingat penetapan APBN dan ABPD sudah berjalan.
Dalam perjalananya proses pilkada (seperti proses-proses lain) tentunya mengalami banyak kendala dan permasalahan. Sedikit dari banyak permasalahn tersebut yang dapat saya contohkan adalah ketidak puasan peserta yang kalah terhadap hasil penghitungan suara yang dilakukan KPUD, yang ujung-ujungnya pasti akan menjadi konflik horizontal di masyarakat (tidak hanya masalah hukum saja). Disini peran Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa pilkada tentu saja sangat krusial mengingat potensi konflik yang dapat di timbulkan. Akan tetapi Mahkamah Agung dalam pengambilan keputusan masih saja menggunakan logika politik mengalahkan logika hukum seharusnya putusan mahkamah agung bukan melakukan pilkada ulang namun hanya sebatas penghitungan ulang di TPS-TPS yang dicurigai terjadi kecurangan. Sesuai pasal 106 ayat 5 UU no 32 tahun 2004 keputusan Mahkamah Agung tersebut bersifat final dan mengikat artinya tidak dimungkinkan lagi untuk melakukan upaya hukum lanjutan (Peninjauan Kembali) namun, dalam prakteknya mahkamah agung menerima PK dari pihak yang merasa tidak puas terhadap putusannya. Pendobrak pertama hal tersebut adalah walikota depok Nur Mahmudi Ismail yang mengajukan PK terhadap putusan mahkamah agung yeng ‘mengalahkan’ dirinya yang pada akhirnya ia dimenangkan oleh mahkamah agung dan sekarang duduk enak menjadi wali kota.
Hal ini memicu adanya suatu kebiasaan buruk bahwa pihak yang kalah dalam sengketa pilkada pasti akan mengjukan PK yang pada awalnya tidak mempunyai dasar hukum, baru-baru ini terjadi di pilkada Sulawesi selatan yaitu Gubernur terpilih Syahrul Yasin Limpo yang dapat menjadi gubernur berkat kemenangan pihaknya dalam sengketa pilkada setelah mengajukan PK terhadap putusan Mahkamah Agung.
Untuk ke depan ada beberapa solusi terlepas dari banyaknya permasalahan. Harus mengantisipasi hal-hal yang belum diatur dalam UU No. 32/2004. Usulan mengajukan UU Pilkada yang tersendiri sedang dibicarakan dengan lembaga legislatif. UU No. 32/2004 menjadi ‘cantelan’ dari UU Pilkada tersebut.

Prosedur/mekanisme Penyelesaian Sengketa Pilkada dan Dasar Hukumnya.
Potret pelaksanaan pilkada di berbagai daerah saat ini diwarnai oleh berbagaiperistiwa muram. Hal yang paling kecil dapat ditemukan dari pencopotan atau penurunan atribut kampanye kandidat lain oleh masing-masing massa pendukung. Sekiranya hal itu dilakukan dalam masa kampanye maka hal tersebut membuktikan masih belum terwujudnya kedewasaan berpolitik dari kubu pasangan calon tertentu.
Ketidakdewasaan berpolitik juga ditandai dengan terjadinya bentrok fisik antar massa pendukung yang berlainan. Peristiwa ini merupakan cerminan dari tidak adanya rasa saling menghormati antar massa pendukung yang berbeda.
Bentrok fisik terkadang tidak hanya terjadi ketika pada saat pawai kendaraan. Namun, juga terjadi ketika berada di luar jadwal pawai atau kampanye. Walaupun kerugian akibat bentrokan ini sangat besar namun pada kenyataannya hal ini terus menerus terjadi di lapangan.
Persoalan bertambah pelik ketika pelaksanaan kampanye juga diikuti dengan adanya berita gelap yang menjelek-jelekan salah satu pasangan calon, berita atau isu tersebut disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk menyudutkan posisi pasangan calon lainnya.
Seandainya isu gelap ini terus berlangsung maka wajah pelaksanaan pilkada akan selalu diwarnai oleh fitnah-fitnah yang secara etika politik akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan yang demokratis.
Mewujudkan kedewasaan berpolitik dan tanggungjawab politik memang suatu hal yang agak sulit. Tetapi, apabila kita ingin mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh lebih baik maka sudah saatnya kita memulai perubahan dari sekarang.
Berani bertanggungjawab merupakan salah satu contoh yang dapat dilakukan. Jarang sekali pihak-pihak yang mau bertanggungjawab atas terjadinya berbagai insiden buruk selama masa kampanye.
Permasalahan-permasalahan politik seputar pelaksanaan pilkada pada umumnya akan memuncak ketika hari pencoblosan dan pada saat penghitungan suara. Sebelum pencoblosan dimulai kita sering mengenal istilah yang disebut dengan 'serangan fajar'. Dengan adanya kejadian serangan fajar menunjukkan bahwa demokrasi di negara kita masih sangat lemah sebab masih banyak masyarakat dan pihak-pihak tertentu yang mau menjual dan membeli demokrasi dengan uang.
Dengan harapan agar sang kandidat terpilih menjadi kepala daerah maka berbagai hal bisa saja dilakukan pasca pencoblosan. Salah satunya dengan manipulasi penghitungan suara di beberapa tempat yang sekiranya luput dari pengawasan pihak lain. Kejadian inilah yang kemudian menimbulkan kecurigaan terhadap hasil penghitungan suara yang telah diumumkan. Sebagai buntutnya adalah terjadi kericuhan dan saling protes atas hasil yang telah diumumkan.
Hanya beberapa daerah saja yang pada kenyataannya bisa menyelesaikan keseluruhan rangkaian pilkada tanpa biaya politik yang begitu besar, tanpa harus saling mengerahkan atau menunjukkan kekuatan fisik.
Penyelenggaraan pilkada untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Banten dan DKI Jakarta, merupakan salah satu contoh penyelenggaraan pilkada yang dapat dijadikan tolak ukur kemajuan kehidupan berdemokrasi.
Dalam pelaksanaan pilkada di Banten dan DKI Jakarta setiap permasalahan yangterjadi dalam sengketa pelaksanaan dan hasil pilkada ditempuh melalui jalur hukum.
Pengerahan kekuatan diupayakan sekecil mungkin tidak terjadi. Kalaupun ada demonstrasi maka tidak terjadi saling serang antara massa pendukung yang berlawanan, di samping itu ada pihak yang bertanggungjawab sebagai koordinator massa demonstrasi.
Kedewasaan berpolitik begitu tercermin dari adanya ketaatan terhadap hukum dan rasa saling menghormati. Dalam kasus di Banten dan Jakarta pada akhirnya pihak yang kalah dalam sengketa hukum hasil pilkada dengan lapang dada menerima kekalahannya.
Pihak yang dikalahkan, seperti Zulkieflimansyah dan Adang Daradjatun, tidak sungkan-sungkan untuk memberikan ucapan selamat kepada calon yang terpilih menjadi kepala daerah, dan dengan secara terbuka berani menyatakan siap membantu jalan dan suksesnya program pemerintah.
Permasalahan pilkada dapat timbul pada semua tahapan dalam pelaksanaannya baik pada tahap persiapan maupun tahap pelaksanaan pilkada seperti :
a.Tidak akuratnya penetapan data pemilih
b.persyaratan (ijazah palsu/tidak punya ijazah)
c.Permasalahan internal parpol dalam hal pengusulan pasangan calon
d.KPUD yang tidak tranparan, tidak independen dan memberlakukan pasangan calon tidak adil dan setara
e.Adanya dugaan money politik
f.Pelanggaran kampanye
g.perhitungan suara yang dianggap tidak akurat.[2]
Gonjang-ganjing pilkada di ber-bagai daerah di negeri ini banyak yang bermuara pada ketidakpua-san terhadap proses dan hasil pil-kada itu sendiri, atau berangkat dari proses politik yang tak mampu mengakomodasikan aspirasi akar rumput. Banyak kasus menunjuk ke arah itu. Pilkada di berbagai wilayah di tanah air berujung dengan kepiluan politik.
Publik selalu dicekoki dengan istilah pembatalan pilkada, pilkada ulang, dan sebagainya. Ini peristilahan yang keliru dan tidak benar karena peraturan perundang-un-dangan pilkada seperti UU No 32 Tahun 2004, Perpu No 3 Tahun 2005, PP No 6 Tahun 2005, dan PP No 17 Tahun 2006 sama sekali tidak mengenal yang namanya pilkada ulang atau pembatalan pilkada. Yang ada hanya penghitungan suara ulang, pemungutan suara ulang, atau penundaan pilkada.
Hal ini menunjukkan ketidaktahuan publik terhadap mekanisme penyelesaian sengketa pilkada. Ketidaktahuan publik masyarakat bisa disebabkan oleh penyeleng-gara pemilu yang tidak cukup melakukan sosialisasi mengenai mekanisme penyelesaian sengketa meski mungkin saja sosialisasi proses pilkada di tahap lainnya dilaksanakan dengan baik. Hal ini bisa terjadi karena ekspektasi yang terlalu tinggi dari para penyelenggara pilkada bahwa pilkada tidak banyak menimbulkan masalah. UU No 32 Tahun 2004 pada prinsipnya mengatur kewenangan DPRD dalam pilkada sehingga KPUD bertanggungjawab kepada DPRD.
Namun kewenangan itu lalu dihapus dan dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No 072-073/PUU-II/2004 tanggal 22 Maret 2005. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan DPRD hanya sebatas memberi rekomendasi pengangkatan dan pengesahan pasangan calon terpilih kepada Mendagri melalui Gubernur berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dan berkas pemili-han dari KPUD, sedangkan KPUD sendiri memiliki kemandirian pe-nuh untuk melaksanakan pilka-da secara bebas dan transparan. Meski demikian, kemandirian KPUD itu menuai masalah ketika terjadi penolakan dan/atau intervensi dari DPRD dan/atau masyarakat.
Dalam hal penolakan terhadap pilkada berdasar kasus-perkasus permasalahan dimulai dari tekanan masyarakat dan/atau kontestan yang merasa dirugikan kepada panwas pilkada untuk membuat laporan pelanggaran pilkada yang diteruskan kepada pihak DPRD. DPRD kemudian membuat rekomendasi kepada KPUD untuk menunda atau membatalkan pilkada.
UU Pemda menentukan bahwa putusan MA dalam sengketa hasil pilkada bersifat final dan mengikat serta dapat didelegasikan kepada pengadilan tinggi (PT). Tetapi penjelasan Pasal 106 Ayat (7) mementahkan sifat final tersebut karena putusan PT yang bersifat final adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum.
Sifat final dan mengikat putusan pengadilan merupakan kunci bagi kepastian politik dan hukum hasil pilkada. Tetapi sifat tersebut tidak diterapkan sebagai lex specialis oleh MA. Penetapan hasil pilkada oleh KPU Kota Depok telah digugat ke PT Jawa Barat dan dikoreksi oleh putusan No 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. KPU Depok pun meminta peninjauan kembali dan putusan MA No 01 PK/Pilkada/2005 membatalkan putusan PT Jawa Barat (sekaligus menyalahi Perma No 6/2005; Putusan MA kemudian disengketakan ke MK meskipun permohonan untuk memperkarakan putusan tersebut tidak diterima). Rumusan UU Pemda tidak menghapus ketentu- an hukum acara MA mengenai peninjauan kembali meskipun hasil revisi UU Pemda lebih mutakhir (lex posteror) dibanding hasil revisi UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman pada tahun 2004.[3]
Pengaturan dan praktik penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah masih membuka ketidakpastian hukum maupun destabilisasi politik. Sebuah desain penyelesaian hukum atas sengketa politik seharusnya mengandung kejelasan substantif dan ketegasan prosedural sehingga tidak mudah dibajak di pengadilan.
Dalam pasal 112-114 PP No.6/2005 yang mengatur tahapan penyelesaian sengketa, Panwas akan mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk melakukan musyawarah dalam mencapai kesepakatan. Bila tidak terjadi kesepakatan, maka Panwas akan membuat keputusan. Keputusan tersebut bersifat final dan mengikat. Sementara, bila terjadi laporan sengketa yang mengandung unsur tindak pidana, maka akan dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kemudian pemeriksaan dilakukan di pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Antisipasi Konflik Pilkada.
Setiap konflik yang berujung kepada kerusuhan dan kekerasan dalam sosiologi dikenal sebagai salah satu bentuk dan perilaku sosial yang merupakan produk dan stimulan perilaku-perilaku orang lain dimana individu yang melakukan kekerasan bukan untuk memenuhi kepuasan diri sendiri, melainkan untuk memperoleh kepuasan kolektif. Ini menunjukkan bahwa rasa saling memiliki antar sesama pendukung kandidat tertentu yang tidak menerima kekalahan calon yang diusung dapat menciptakan konflik apabila terjadi stimulasi-stimulasi yang mengatasnamakan pendzaliman terhadap kolektifitas yang telah dibangun.
Teori deprivasi relatif yang dikemukakan Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel (1970) menyatakan bahwa kekerasan muncul karena adanya reprivasi relatif yang dialami masyarakat akibat terciptanya kesenjangan antara nilai harapan yaitu harapan terhadap hak untuk menikmati suatu kualitas hidup dengan nilai kapabilitas fakta yaitu kondisi untuk memperoleh harapan tersebut.
Dalam berbagai pengalaman pilkada langsung yang telah diselenggarakan di berbagai daerah di Indonesia, konflik yang terjadi antara lain : konflik antara kandidat dengan KPUD, konflik antar kandidat serta konflik antar pendukung. Konflik antara kandidat dengan KPUD dapat terjadi apabila kandidat menggunakan mekanisme legal untuk melawan keputusan KPUD. Pasal 106 UU Pemerintah Daerah disebutkan "Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutus sengketa hasil penetapan perhitungan suara Pilkada & Pilwakada dan KPUD." Sengketa pilkada yang menggunakan jalur ini dapat dilihat pada kasus Pilkada Sulawesi Barat dimana pasangan Salim Mengga dan Hatta Dai menggugat keputusan KPUD Sulbar.
Konflik antar kandidat dapat terjadi apabila kandidat memiliki ketidakpuasan atas cara-cara yang dilakukan oleh kandidat lainnya dalam memenangkan pilkada. Ketidakpuasan ini diekspresikan menggunakan jalur yang disediakan oleh peraturan perundangan.
Potensi konflik yang paling mengkhawatirkan adalah konflik antar pendukung. Pengerahan massa yang tidak terkendali akibat ketidakpuasan kolektif akan menghasilkan anarkisme. Di sini dibutuhkan moralitas politik para pemimpin yang bertikai jangan sampai para pemimpin mengedepankan konsep Machiavelli dalam meraih kekuasaan. Menurut Machiavelli, kekuasaan adalah lingkaran setan yang tidak bermoral karena seringnya menghalalkan segala cara. Seorang penguasa menurutnya adalah orang yang sanggup meraih dan mempertahankan kekuasaan, lepas dari dimensi etis yang digunakan.
Peran media massa sangat dibutuhkan sebagai agent of change dengan independensinya untuk tidak mewartakan secara berlebihan gejolak-gejolak yang timbul di masyarakat karena dapat menjadi stimulan bagi gerakan-gerakan lainnya. Selain itu, media massa diharapkan mensosialisasikan mekanisme penyelesaian sengketa pilkada agar masyarakat memahami bahwa kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan atas nama demokrasi justru melakukan proses dekonstruksi terhadap demokrasi yang sedang dibangun.
Partai pendukung sebagai simpul-simpul massa harus memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Pasal 9 UU No 31/2002 tentang partai politik menyebutkan, partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, partai politik wajib menciptakan iklim yang kondusif dalam pentas politik. Partai politik harus menjadi garda terdepan dalam mencegah meluasnya konflik.

DAFTAR RUJUKAN
1. Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Undang-undang nomor 31 tahun 2002 tentang parpol.
3. http://www.suaramerdeka.com/
4. http://www.gatra.com/
5. http://www.hukumonline.com/
6. The wahid institute.com
7. Catatan kuliah Hukum Pemerintahan Daerah oleh Bapak Djayus, S.H. , M.Hum. (dosen pada jurusan HTN Fakultas hukum universitas Jember)



[1] Dr. Sofiati M.Pd. Evaluasi Pilkada langsung. http://www.suaramerdeka.com/. Diakses tgl 10 Mei 2008
[2] Independent news: Pilkada, Sistem yang efisien dan hemat pembiayaan. Jakarta 6 september 2006.
[3] M Fajrul Falaakh Fakultas Hukum UGM, Anggota Komisi Hukum Nasional.www. kompas.com. diakses tanggal 11 mei 2008

Wednesday, May 14, 2008

Politik: Sebuah Kemunafikan

Abad ke 21 ditandai dengan kesenangan berlebihan (Eurofia) terhadap prilaku politik Demokratis. Menurut gejalanya, Eurofia Politik ini hanya sekedar permainan para Politisi dengan berdalih Demokrasi, seperti George W.Bush memberantas Terorisme dengan cara Invasi ke Irak, di Senayan sering terjadi Money Politik dalam Demokrasi dengan dalih Hukum, lembaga hukum tidak berdaya memberantas korupsi karena korupsi telah berakar dan mendarah daging dalam diri pejabat kita, Ada apa dibalik semua itu ? jawabannya sederhana yaitu karena ada uang. Apa mungkin pada zaman ini semua manusia tergantung terhadap uang barang kali ini adalah bawaan kondisi abad 21 ini yang berparadigma ekonomi kapitalistik.
Ada Asumsi kuat dan cukup realistis bahwa keberhasilan suatu Negara kuncinya ada pada penyalenggara Negara (pejabat-ed) itu sendiri yaitu sejauh mana kualitas moralitas mereka apa bisa dipercaya atau tidak, tampak jelas dari fakta kongkret bahwa moralitas mereka terbentuk dari suatu filosofi hidup yang cenderung negatif, yaitu prinsip moral memperoleh keekuasaan untuk mendapatkan kekayaan materi sebanyak-banyaknya dari Negara atau lembaga, bukan sebaliknya (memberikan kekuasaan dan kesejahteraan sebanyak-banyaknya kepada Negara dan lembaganya). Jadi mereka pada umumnya terdorong untuk menjadi penguasa, politisi, senator, penegak hukum, dan lain sebagainya hanya untuk mementingkan perutnya dan pengikutnya.
Kemunafikan dunia perpolitikan di Indonesia tumbuh dan berkembang sejak orde baru tapi memasuki Era reformasi ini kemunafikkan Politik malah semakin menjadi-jadi mengakibatkan kebangkkrutann perekonnomian nasional dan diperparah oleh kebangkrutan moral golongan Reformis itu sendiri, kebejatan moral itu sendiri secara sengaja atau tidak secara tidak langsung akan menimbulkan sikap skeptis terhadap pemerintahan, sehingga menimbulkan munculnya budaya gerakan demonstrasi yang kadang tidak masuk akal, jika ini tidak disikapi secara tepat menurut komitmen nasional (UUD ‘45) maka secara de facto, bangsa Indonesia belum mampu memerdekakan dirinya.
Kebangkrutan dunia politik perlu segera di atasi dengan cara memposisikan dan memfungsikan politik sebagai domain terhadap ekonomi untuk itu dunia politik mutlak harus dikembalikan ke asas filsafat dengan nilai moralitasnya. Nilai subtansial politik adalah kebijaksanaan etis bagi kehidupan bernegara, bukan kekuasaan licik bagi penyalenggaranya, dan sistem politik tidak harus dijiwai oleh moral premanisme, dunia politik di Indonesia secara konstitusional jelas dijiwai oleh moralitas “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”(sila ke-5 Pancasila), bukan oleh keadilan sosial bagi seluruh pejabat Indonesia, rekonsiliasi nasional tidak perlu berkiblat kemana-mana cukup berkiblat pada Al-qur’an dan Hadist, dan para penyalenggara Negara berkiblat kepada sahabat-sahabat nabi dan penguasa harus berkiblat kepada kepemimpinan nabi Muhammad SAW.
Oleh, Muhammad Fahmi

Ratapan

Dalam tidur dan jagaku
dua miliar tetes air menggelepar di mataku
dan bau anyir dagingku dagingmu
lapan wewangian seteru

dalam tidur dan jagaku
dua miliar butir pasir mencakar mataku
dan getir sukmaku sukmamu
nanar menyatu saling seteru

dalam tidur dan jagaku
dua miliar lebih dosa-dosa membuntuti
disisiku disisimu
dosamu dosaku

dalam tidur dan jagaku
dua miliar sungai petir di mengalir dimataku
dan mereka nyanyikan maut itu
mautku mautmu

dalam gairah tak terperi itu
bagai gelisah sudah dukaku dukamu
tapi aku tak tahu, tak tahu
bagaimana kiamat menyelesaikan kiamat itu
by Abdullah Yasser

Monday, April 21, 2008

Kumpulan Puisi Dari Muhammad Fahmi

TAK LELAH KAH

Dari burung yang terbang
Menuju kekasih
Burung-burung dikerahkan
Mengintip mendung
Burung-burung melihat matahari
Langit dan mega terus mengadu
Sampai menyumpal tong usia
Ruang tinggal serangga duri
Disapa angin
Di sapa prahara
Gelombang pesonanya
Tiris ketelaga
Berendamlah duka
Menyelamlah luka

BATIN

Bayangkan……..!
Telinga renta menggenggam pilu
Bayangkan………!
Kata-kata dusta penampung derita
Bayangkanlah………!
Lengan lunglai menyandarkan duka
Bayangkanlah……….!
Hati beku pendamping luka
Bayangkanlah……….!
Pintu hati menyakiti cinta

Terbayang, terbang,tergoda
Dunia yang tak kekal
Hampir membuatku terkapar
Jiwa lepas bagai kijang
Kontan dan berlipat
Yang…..!
Bayang…….!
Terbayang…….!
Dan bayangkan.......!
Tiba datang menghadapmu
Menghadaplah........?


REKAYASA TUHAN

Tuhan, Kau pencipta manusia
Yang bertaqwa
Kau pencipta manusia
Yang beriman
Kau pelahir kader
Islam yang bertanggung
Jawab
Mengapa Kau tumpahkan darah
Dimana-mana
Salam bagi-Mu
Wahai cucu Adam
Hadapkan wajahmu
Ke kiblat
Cukup Allah sebagai pembela
Allah sebagai penolong
Maha luhur
Maha agung
Selamatkan mereka
Dari kekufuran
Allah? sanggup merekayasa
Apa saja...................
Yang di inginkan-Nya

SUCI

Wahai engkau perampok rindu
Jangan kau ambil orgasme sesaatku
Apa engkau lupa?
Nafsu serkah dan tamak
Lahan pemanjaanmu
Menyusuri ludah dan dahak
Menuju lurus horisonku
Telaga tempatku bermain
Mata air membasahi dahagamu

Jangan engkau paksa mereka
`tuk memberi makan nafsumu
Dia kawah yang meminta sajadah
agar yang mulia tak menyentuh
tanah yang pemurah.


TERSENYUMLAH

Tiuplah pelan-pelan
Ingin ku sematkan
Ditelaga hati

Malam yang malang
Dalam cadar mega senja. Lalu….
Manik-manik sorga beterbangan

Tapi aku dan sepi
Terus saling terpaku
Kalaupun menyisakan

Monday, April 7, 2008

SINERGITAS NILAI DASAR PERGERAKAN

Oleh: Agus Fathurrosi*
Diakui atau tidak bahwa kita sebagai insan pergerakan sudah mempunyai frame-frame atau nilai dasar di dalam pergumulan pergerakan itu sendiri yang nantinya menjadi acuan penting didalam melakukan sebuah gerakan di segala bidang kehidupan ini demi terciptanya tatanan masyarakat,bangsa,dan negara secara adil, makmur serta sejahtera .
Adapun nilai dasar yang memanyungi kita di dalam bertindak untuk melakukan sebuah perubahan itu adalah.aktualisasi diri dalam berhubungan dengan Tuhan,berhubungan dengan sesama manusia dan berhubungan dengan alam sekitar. Yang ketiga-tiganya tersebut harus teraktualisasikan secara integral atau dengan kata lain antara yang satu dengan lainnya tidak dapat ditinggalkan (dilepaskan begitu saja).
Fenomena yang muncul pada diri sahabat-sahabat sendiri rupanya sudah menggejala ataupun menjadi kebiasaan didalam dinamika gerakannya ujntuk tidak berpijak pada nilai-nilai dasar pergerakan yang sudah digariskan itu. Contoh nyata yang paling nampak pada diri sahabat-sahabat bahwa ketiga nilai dasar itu tidak termanifestasikan kesemuanya adalah masih banyak di tubuh insan pergerakan yang hanya menghabiskan waktunya dengan ritual-ritual ibadah saja atau dalam arti hanya pada penguatan di wilayah hubungan dengan Tuhan.Bahkan yang sangat disayangkan adalah ada slogan yang mengatakan bahwa aku harus sholeh secara pribadi sendiri saja dan menafikan apa yang disebut sebagai kesholehan social atau ada juga penguatan gerakan didalam berhubungan dengan sesama serta lingkungan sekitarnya.
Seperti yang ditulis oleh sahabat Zuhairi Misrawi dalam buku “Arus pemikiran anak muda NU” bahwa suatu kesia-siaan saja atau percuma jika sahabat-sahabat hanya bergerak untuk mensucikan diri(sholeh pribadi) tetapi sangat emoh terhadap jeritan atau tangisan yang terjadi pada realitas sosial yang ada dalam hal ini masyarakat sekitar maupun lingkungan(alam) sebagai tempat berpijak yang tiada henti dilanda berbagai macam musibah tanpa henti-hentinya(sholeh sosial) dan itu juga kategori orang yang mendekati kekafiran.Bahkan dia sangat berani sekali dengan statemennya yaitu “buat apa sholat jikalau tetangga kita masih banyak yang kelaparan dan terbelakng dalam segala bidang”.Dan hal itu menurut hemat penulis sangat disayangkan sekali jika masih ada sahabat yang tidak mempedulikan nasib saudara-saudara kita yang sangat butuh pendampingan (advokasi) dalam hal ini adalah tugas kita semua sebagai insan pergerakan yang sangat jelas sekali tujuannya adalah sebagai pembela orang yang tertindas(mustadz`afin).
Untuk itu belajar dari kondisi seperti yang sering terjadi semisal ketidakharmonisan hubungan antar sahabat-sahabat karena terbentur dengan kepentingan kekuasaan sesaat, intoleransi terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan kita atau bahkan yang lebih parah lagi adalah kita sudah mulai cuek terhada nasib masyarakat yang tertindas oleh kekejaman penguasa lewat alat kekuasaannya.Juga tak kalah tragisnya adalah kita membiarkan penjahat-penjahat alam( kita sendiri yang terlibat dalam kegiatan itu ) merusak dan menggunduli hutan lewat pembalakan liar secara besar-besaran yang hal itu mengakibatkan alam sudah tidak bersahabat lagi dengan kita,dibuktikan dengan berbagai macam bencana yang terus-menerus menimpa kita semua dan mengakibatkan banyak korban berjatuhan.
Kiranya lewat tulisan yang masih banyak perbaikan dimana-mana ini, saya sebagai penulis dan juga sahabat-sahabat yang lain sebagai bagain dari insan pergerakan dapat tergugah hatinya untuk bertindak secepat mungkin dengan cara bersama-sama mengaktualisasikan diri dengan cara mensinergikan (keseimbangan) nilai-nilai pergerkan tersebut tanpa terkecuali demi tercapainya cita-cita bersama yaitu membebaskan manusia-manusia dari ketertindasan berwujud apapun.

SELAMAT BERJUANG…!!!
*Penulis adalah mahasiswa STAIN Jember, Pengurus PMII Komisariat STAIN Jember

PESANTREN DAN INTERAKSI DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN

Oleh Muhammad Fahmi*

Di sebuah seminar internasional yang diselenggarakan di Pattani Thailand, juni 25 28 1998 . Ada sebuah argumen yang menyatakan bahwasanya di Indonesia ada banyak pesantren yang sedemikian unik, kuat dan semakin maju dari waktu ke waktu. Pesantren disini boleh diartikan sebagai institusi pendidikan, boleh juga diartikan sebagai komunitas santri, pesantren diindonesia berbeda dengan pesantren –pesantren yang ada diluar negeri karena di Indonesia pesantren mempunyai nilai-nilai budaya, ideologi dan historis yang sangat kuat.
Pendidikan islam yang dipelopori walisongo merupakan perjuangan brilian yang diimplementasikan dengan cara sederhana yaitu menunjukkan jalan alternative baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal. Usaha-usaha ini sering diterjemahkan sebagai model of development from within.

Ada beberapa jenis pendekatan –pendekatan pendidikan walisongo antara lain.
1.Modeling
Jika dalam dunia islam Rasulullah adalah pemimpin dan sebagai panutan sentral yang tak perlu diragukan lagi, maka dalam masyarakat santri jawa kepemimpinan diteruskan oleh walisongo yang kemudian sampailah ajaran-ajarannya kepada kita melalui Kiai-kiai atau pembimbing kita. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa kekuatan modeling ditopang dan sejalan dengan value system jawa yang mementingkan paternulisme dan petron client relation yang sudah mengakar dalam budaya jawa.
Tampaknya masih ada koneksi filosofi dan ideologi antara taqlid dan modeling dalam dunia jawa, dengan demikian,ajaran taqlid yang berkembang berabad-abad menunjukkan pentingnya sistem modeling yang kondusif dalam interaksi pendidikan diindonesia.

2.pendidikan islam yang tidak Diskriminatif
Pendidikan ini sudah ditunjukkan oleh walisongo pada rekayasa mereka terhadap pendirian pesantren yang merakyat ini.gaya pesantren seperti ini sudah banyak ditiru oleh substsnsi-substsnsi pendidikan modern seperti sekarang.karna pendidikan ala walisongo ini telah terlembagakan dalam tradisi pesantren, seperti keshalehan sebagai gaya hidup kaum santri, pengarifan terhadap budaya lokal. Meski demikian dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapat tempat dalam ajaran dasar walisongo.

3.pendekatan kasih sayang
Bagi walisongo mendidik adalah tugas dan pengalaman agama.karna mendidik murid ataupun kader sama halnya dengan mendidik anak kandung,maka dalam konteks ini dapat dipahami bahwa jadikanlah anak didikmu sebagai anak kandungmu.
Sebagai institusi pendidikan,pesantren adalah wujud kesinambungan budaya- budaya budha yang diislamkan secara damai dan di modifikasi menjadi substansi pendidikan islami.
SALAM PERGERAKAN….!!!
*penulis adalah mahasiswa STAIN Jember, aktif di PMII

Wednesday, March 26, 2008

HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

Oleh, Ahmad Badawi

1. PENGERTIAN PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.
Perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungi suatu sistem sosial. Revolusi nasional, pembentukan suatu lembaga pembangunan desa, pengadopsian metode keluarga berencana oleh suatu keluarga, adalah merupakan contoh-contoh perubahan sosial Perubahan, baik pada fungi maupun struktur social adalah terjadi sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan tersebut di atas. Struktur suatu sistem terdiri dari berbagai status individu dan status kelompok-kelompok yang teratur.
Berfungsinya struktur status-status itu merupakan seperangkat peranan atau perilaku nyata seseorang dalam status tertentu. Status dan peranan saling mempengaruhi satu sama lain. Status guru sekolah misalnya, menghendaki perilaku-perilaku tertentu bagi seseorang yang menduduki posisi itu, dan mempengaruhi tingkah laku orang tersebut. Mungkin saja seseorang menyimpang jauh dari seperangkat tingkah laku yang diharapkan (karena dia menduduki posisi status tertentu), tetapi statusnya mungkin berubah. Fungsi sosial dan struktur sosial berhubungan sangat erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam proses perubahan social, jika salah satu berubah, maka yang lain akan berubah juga. Berdirinya atau ditetapkannya organisasi kampus yang baru, mempengaruhi struktur social universitas karena didefinisikannya seperangkat
fungsi baru di sana. Jika seseorang (pejabat) ";mulai berfungsi dalam status baru itu, mereka mungkin mempengaruhi fungsi universitas secara keseluruhan.

2. TEORI-TEORI TENTANG HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL
Menurut Max Webber perkembangan hukum materil dan hukum acara, mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju dmana hukum disusun secara sistimatis, serta dijalankan oleh orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan dan latihan-latihan dibidang hukum. Tahap-tahap perkembangan hukum ini oleh Max Weber lebih banyak merupakan bentuk-bentuk yang dicita-citakan dan menonjolkan kekuatan-kekuatan sosial manakah yang berpengaruh dalam pembentukan hukum pada tahap-tahap yang bersangkutan. Hal yang sama juga ditafsirkan terhadap teorinya tentang nilai-nilai ideal dari sistem hukum, yaitu rasional dan irrasional.
Emile Durkheim berpendapat yang pada pokoknya menyatakan hukum merupakan refleksi dari pada solidaritas sosial dalam masyarakat. Menurutnya didalam masyarakat terdapat dua macam solidaritas, yaitu yang bersifat mekanis (mechanical solidarity), dan yang bersifat organis (organic solidarity). Solidaritas yang mekanis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang sederhana dan homogen, dimana ikatan pada warganya didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi serta tujuan yang sama. Sedangkan solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang heterogen dimana terdapat pembagian kerja yang kompleks.
Dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi yang kolektif terhadap pelanggaran-pelanggaran kaidah-kaidah hukum yang bersifat refresif berubah menjadi hukum yang bersifat resitutif. Dimana tekanan diletakkan pada orang yang menjadi korban atau yang dirugikan, yaitu bahwa segala sesuatu harus dikembalikan pada keadaaan sebelum kaidah-kaidah tersebut dilanggar. Akan tetapi teori dari Durkheim agak sulit untuk dibuktikan. Richard Schartz dan James C. Miller dalam suatu penelitian ternyata bertentangn dengan teori Durkheim tentang perkembangan dari hukum represif ke hukum restitutif. Namun demikian bukanlah berarti bahwa teorinya sama sekali tidak berguna, karena ada hal-hal tertentu yang berguna untuk menelaah sistim-sistim hukum dewasa ini, misalnya apa yang dikemukakannya tentang hukum yang bersifat represif berguna untuk memahami pentingnya hukuman.
Teori lainnya lagi yang menghubungkan hukum dengan perubahan-perubahan sosial adalah pendapat Hazairin tentang hukum adat. Dikatakannya bahwa baik secara langsung maupun tidak langsung seluruh lapangan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan (khususnya dalam hukum adat) yang akhirnya meningkat menjadi hubungan tara hukum dengan adat. Adat merupakan resapan (endapan) kesusilaan di dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan secara umum dalam masyarakat tertentu.



3. HUBUNGAN HUKUM DENGAN PERUBAHAN SOSIAL
Pada dasarnya perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh dua faktor saja, yaitu faktor interen antara lain pertambahan penduduk atau berkurangnya penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan (konflik); atau juga karena terjadinya suatu revolusi. Sedangkan ekstern meliputi sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan dan sebagainya. Hal-hal yang mempermudah atau memperlancar terjadinya perubahan sosial antara lain adalah apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat-masyarakat lain, sistim lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen maupun ketidak puasan masyarakat terhadap kehidupan tertentu dan lain sebagainya. Sedangan faktor-faktor yang memperlambat terjadinya perubahan sosial antara lain sikap masyarakat yang mengagung-agungkan masa lampau (teradisionalisme), adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat (vested-interest), prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing dan sebagainya.
Sebaliknya dalam perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badang pelaksana hukum.
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Dan jika hal semacam ini terjadi maka terjadilah suatu “social lag” yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidak seimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.
Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosialnya atau sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakekatnya merupakan suatu gejala wajar didalam masyarakat bahwa terjadi perbedaan antara pola-pola perilakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena hukum pada hakekatnya disusun atau disahkan oleh bagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaan dan wewenang. Tertinggalnya hukum pada bidang-bidang lainnya baru terjadi apabila hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada suatu ketika tertentu. Suatu contoh dari adanya lag dari hukum terhadap bidang-bidang lainnya adalah hukum perdata (barat) yang sekarang berlaku di Indonesia.
Tertinggalnya hukum oleh perkembangan bidang-bidang lainnya seringkali menimbulkan hambatan-hambatan terhadap bidang-bidang tersebut. Misalnya dalam KUHP (psl 534) tentang pelanggaran kesusilaan dapat menghambat pelaksanaan-pelaksanaan program Keluarga Berencana di Indonesia. Selain itu, tertinggalnya kaidah-kaidah hukum juga dapat mengakibatkan terjadinya anomie, yaitu suau keadaan yang kacau, oleh karena tidak ada pegangan bagi para warga masyarakat untuk mengukurkegiatannya. Misalnya saja tidak ada hukum perkawinan yang mengatur hubungan perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan.
Sebaliknya pengaruh hukum terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya adalah sangat luar biasa, misalnya hukum waris. Hukum mempunyai pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Dan apabila hukum membentuk atau mengubah basic institutions dalam masyarakat, maka terjadi pengaruh yang langsung.

4. HUKUM SEBAGAI SOCIAL ENGINEERING DAN SOCIAL CONTROL
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat (social engineering) di sini adalah dalam arti bahwa hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change (pelopor perubahan). Yang dimaksud dengan agent of change ini adalah seorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Untuk mempengaruhi masyarakat dalam mengubah sistim sosial, teratur dan direncanakan terlebih dahulu yang dinamakan dengan social engineering atau social planning. Tetapi memfungsikan hukum sebagai sarana perubahan sosial tidak mudah karena seringkali hukum harus berhadapan dengan budaya hukum masyarakat.
Perubahan-perubahan yang direncanakan dan dikehendaki oleh warga masyarakat sebagai pelopornya merupakan tindakan-tindakan yang penting dan mempunyai dasar hukum yang sah. Akan tetapi hasil yang positif tergantung pada kemampuan pelopor perubahan untuk membatasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya disorganisasi sebagai akibat dari perubahan yang terjadi untuk memudahkan proses reorganisasi.
Sebagai sarana kontrol sosial, hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap dapat berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya (Soerjono Soekanto, 1973). Dalam hal ini hukum mempertahankan apa saja yang telah diterima dalam masyarakat.

5. PERUBAHAN YANG TERJADI DI MASYARAKAT SETELAH DI UNDANGKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1992.
Setelah di undangkannya UU No.14 Tahun 1992 tentang lalu-lintas angkutan jalan, terjadi kehebohan dalam masyarakat yang bahkan menyebabkan demonstrasi memprotes undang-undang tersebut terutama kewajiban memakai helm dan sabuk pengaman yang apa bila dilanggar dikenai pidana denda yang menurut masyarakat pada saat itu sangat berat.
Setelah melalui waktu yang agak lama, masyarakat mulai menerima dan menyadari akan pentingnya undang-undang tersebut untuk menanggulangi kecelakaan lalu-lintas.
Dikeluarkannya undang-undang ini termasuk dalam kategori perubahan hukum yang menyebabkan perubahan sosial, yaitu masyarakat pada saat sebelum di undngkannya undang –undang tentang lalu-lintas enggan memakai helm atau sabuk pengaman, maka setelah diundangkan undang-undang lalu-lintas maka masyarakat mulai mengguanakan helm ataupun sabuk pengaman.
Bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, pengetahuan masyarakat terhadap hukum. Tanpa pengetahuan yang cukup, masyarakat tidak akan berperilaku sesuai dengan keinginan hukum. Dengan mengetahui keberadaan, tujuan dan manfaat pembuatan suatu hukum beserta sanksi-sanksinya bila dilanggar, diharapkan masyarakat berperilaku sesuai harapan dan tujuan pembuatan hukum tersebut. Memberi pengetahuan kepada masyarakat biasanya dilakukan melalui sosialisasi seperti talk show, pemuatan berita atau artikel di media massa, dan lain-lain.
Kedua, eksistensi lembaga hukum. Keberadaan lembaga hukum sangat penting bagi bekerjanya hukum. Tanpa keberadaan lembaga hukum, hukum hanya merupakan tulisan di atas kertas karena tidak bisa dijalankan. Namun demikian, meskipun lembaganya telah tersedia (dalam bidang lalu lintas adalah lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang, Departemen atau Dinas Perhubungan sebagai regulator, Polri sebagai pengawas agar masyarakat berperilaku sesuai aturan dan penindak jika terjadi pelanggaran, serta Pengadilan sebagai lembaga yang menjatuhkan sanksi), hukum tidak serta merta bisa bekerja sekalipun masyarakat telah mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai hukum.
Ketiga, penegakan hukum. Energi yang digunakan untuk menghasilkan produk hukum menjadi sia-sia tanpa adanya tindakan hukum bagi para pelanggarnya. Penegakan hukum menjadi upaya kuratif agar masyarakat tetap berperilaku sesuai hukum.
Terakhir, faktor yang paling mempengaruhi bekerjanya hukum adalah budaya hukum masyarakat. Budaya hukum oleh Friedman diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai sikap dan nilai-nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada.
Keempat faktor tersebut secara bersama-sama menentukan apakah hukum dapat dijalankan. Jika salah satu faktor tersebut tidak ada, maka hukum tidak akan dapat berjalan atau menjalankan fungsinya. Sehingga keempatnya harus terdapat dalam sistem hukum.
Jika hukum sudah menjalankan fungsinya maka hukum dapat menyebabkan perubahan social seperti tersebut di atas.

Monday, March 3, 2008

Harkat dan Martabat Bangsa

Karakteristik Wilayah Perbatasan
Pada dasarnya terdapat tiga aspek pokok yang mendasari karakteristik daerah perbatasan, yaitu aspek :
(i) sosial ekonomi,
(ii) pertahanan keamanan,
(iii) politis.

(i) Aspek sosial ekonomi daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik daerah yang kurang berkembang (terbelakang) yang disebabkan antara lain oleh:
(a) lokasinya yang relatif terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah,
(b) rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat,
(c) rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal),
(d) langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan (blank spots).

(ii) Aspek hankam daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik luasnya wilayah pembinaan dan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintahan sulit dilaksanakan, serta pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dan mantap dan efisien.

(iii) Aspek politis daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik kehidupan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan yang relatif lebih berorientasi kepada kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga. Kondisi tersebut potensial untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, terdapat kecenderungan untuk bergeser ke soal politik. Disamping itu, kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan yang relatif sangat tergantung pada perekonomian negara tetangga, dapat menurunkan harkat dan martebat bangsa.
Profil Kawasan Khusus Wilayah PerbatasanWilayah perbatasan nagara kesatuan Republik Indonesia dengan negara tetangga secara keseluruhan membentang dari pantai timur Sumatera, perbatasan darat Kalimantan, perbatasan laut Sulawesi Utara, daerah Maluku Utara dan Halmahera Tengah, serta perbatasan darat antara Jayapura dengan Merauke di Irian Jaya. Secara keseluruhan, daerah perbatasan dengan negara tetangga mencakup tujuh wilayah propinsi daerah tingkat I yang terdiri atas 24 wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II. Ketujuh propinsi daerah tingkat I tersebut adalah: (i) Daerah Istimewa Aceh, (ii) Sumatera Utara, (iii) Riau, (iv) Kalimantan Barat, (v) Kalimantan Timur, (vi) Sulawesi Utara, dan (vii) Irian Jaya. Secara umum daerah perbatasan dengan negara tetangga di Indonesia dapat dibagi menjadi empat macam daerah perbatasan yang didasarkan pada gugus/kelompok propinsi, yaitu: (i) daerah perbatasan Sumatera bagian timur yang terdiri atas wilayah lautan dan pulau-pulau kecil, (ii) daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur yang merupakan perbatasan wilayah darat, (iii) daerah perbatasan Jayapura-Merauke yang merupakan perbatasan wilayah darat, dan (iv) daerah perbatasan Sulawesi Utara yang meliputi wilayah lautan dan kepulauan. Dari pengelompokkan propinsi yang menunjukkan tipologi dari daerah perbatasan di atas, dapat dikelompokkan pola keterkaitan yang ada antara dua atau lebih negara/propinsi/wilayah yang berbatasan sebagai berikut:

a. pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Sumatera bagian timur dengan wilayah Malaysia, Singapura, dan Thailand, relatif kurang dekat dan tidak langsung, karena dibatasi oleh perairan Selat Malaka; dengan perkecualian pola keterkaitan yang relatif telah maju dan pesat pada segitiga pertumbuhan IMS-GT/SIJORI antara Singapura, Johor, dan Riau (Pulau Batam);

b. pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Propinsi Kalimantan Barat dengan Negeri Sarawak dan antara Propinsi Kalimantan Timur dengan Negeri Sabah, relatif berhubungan langsung satu sama lain karena merupakan perbatasan darat, serta dengan kondisi yang berbeda satu sama lain, dimana wilayah Malaysia relatif lebih maju dibandingkan dengan wilayah Indonesia sehingga terjadi kecenderungan perubahan orientasi kegiatan sosial ekonomi penduduk di wilayah Indonesia ke wilayah Malaysia;

c. pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Propinsi Sulawesi Utara dengan Propinsi Mindanao di Filipina Selatan yang relatif kurang intensif tidak langsung karena relatif jauh dan dibatasi oleh perairan dalam dan wilayah kepulauan; namun demikian, kecenderungan kegiatan sosial ekonomi masyarakat kepulauan yang ada di Kepulauan Sangihe dan Talaud mengarah kepada negara tetangga yang relatif lebih maju perekonomiannya;

d. pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Propinsi Irian Jaya dan Negara Papua Nugini yang relatif berhubungan langsung satu sama lain, dimana kondisi perekonomian kedua wilayah yang berbatasan tersebut relatif sama namun belum terjadi kegiatan perdagangan atau ekonomi yang intensif diantara keduanya.

Saat Presiden Soekarno mengumandangkan ganyang Malaysia pada tahun 1963, sebagian analis menganggap Soekarno termakan provokasi Negara-negara imperialis (intelijen). Terlepas absurditas PKI dengan komunismenya, peristiwa G30S juga dianggap hasil provokasi Inggris (intelijen) dengan isu Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal. Pola sama mungkin dapat diibaratkan ketika Saddam Hussein terjebak provokasi Barat (intelijen) untuk memberi keyakinan baginya memerangi Iran, dan dekade berikutnya menganeksasi Kuwait yang kesemuanya berujung sia- sia.

Bagaimana menyikapi perilaku Malaysia dalam sengketa Ambalat. Apakah harus mengikuti arus emosional menempuh jalan perang? Perundingan bilateral, menerima fasilitator atau apakah memanfaatkan lembaga internasional? Sampai akhirnya disepakati memanfaatkan konvensi hukum laut PBB : UNCLOS 1982 (United Nations of Convention on the Law of the Sea).

Kalaulah berpikir jernih, ada sesuatu ketidakwajaran dalam sengketa ini karena tiba-tiba saja kita kaget tingginya suhu "panas" di sebahagian wilayah timur Indonesia bagai akan terjadi perang terbuka dengan Malaysia di tengah rasa prihatin yang mendalam atas tewasnya ribuan manusia akibat bencana tsunami di Aceh, longsor sampah dan naiknya harga BBM. Kalaulah benar sengketa ini juga bagian dari upaya provokasi pihak-pihak tertentu apakah Indonesia tidak semakin terjerumus dalam kubangan krisis?

Sebagai bangsa kita memang sangat bersabar saat tingkah polah pemimpin Singapura selama ini kerap menghina harkat dan martabat Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Bagaimana saat Lee Kuan Yew mantan Perdana Menteri Singapura paranoid terhadap Negara-negara tetangganya sehingga selalu berkomentar kasar dan angkuh tentang Indonesia. Misalnya pada 1990-an dia pernah menyatakan di depan para petinggi Singapura bahwa Soekarno hanya pintar berorasi.

Di lain waktu Presiden Abdurrahman Wahid yang sempat marah karena Lee Kuan Yew terlalu banyak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Saking jengkelnya, Gus Dur bahkan sempat mengancam akan menghentikan semua pasokan sumber daya alam ke Singapura.

Presiden Habibie juga pernah gusar ketika Lee Kuan Yew berkomentar bahwa beliau tidak akan sanggup memperbaiki perekonomian negeri ini. Belakang hari terbukti bahwa Habibie berhasil menurunkan nilai tukar rupiah, serta tidak pernah menaikkan harga BBM, bahkan sebaliknya sebagai satu-satunya presiden Indonesia yang berhasil menurunkan harga BBM.

Terakhir pemimpin tua bangka ini juga beberapa kali pernah mengumbar keangkuhannya terhadap rakyat Indonesia dengan tuduhan-tuduhan emosional tanpa bukti serta senantiasa berbau sentimen ras dan agama, tidak peduli menyinggung para jirannya apa tidak.