Sunday, October 28, 2007

Calon independen presiden RI

Harry Tjan Silalahi,
Kompas, July 24, 2002
Menyambung gagasan Dr Arief Budiman yang menyatakan perlunya ditampung dalam UU Pemilu adanya kemungkinan calon Presiden/Wakil Presiden (capres/cawapres) independen yang tidak dari partai-partai politik yang ada. Alasan yang tersirat, antara lain, bila mengandalkan "stok" calon presiden dari alur pencalonan partai-partai yang ada, akan mendapat hasil (Presiden/Wakil Presiden) yang tidak memuaskan di tahun 2004-2009 (Kompas, 4/7/2002), saya dapat menyetujui gagasan itu dan ingin menyampaikan renungan tentang soal ini lebih lanjut.
Memang UUD kita (yang telah diamandemen tiga kali) memungkinkan calon independen ini, meski perlu partai politik atau gabungan partai politik untuk mendukung, atau lebih tepat mencalonkannya (Pasal 6A Ayat 2). Tetapi, justru karena pasal ini, calon independen menjadi amat kecil peluangnya diajukan dalam pemilu untuk presiden/wakil presiden RI mendatang. Padahal, bukan hanya dalam konteks kompetisi demokratik saja tetapi juga konteks kebutuhan kepemimpinan Indonesia saat ini, calon independen diperlukan.
Pertanyaan pertama yang muncul adalah, apakah ada capres/cawapres yang tersedia yang memenuhi harapan seperti tersirat dalam pernyataan Arief Budiman. Arief Budiman mengajukan nama Nurcholish Madjid. Ali Sadikin juga mencalonkan Nurcholish Madjid. (Tempo, 30/6/2002). Sementara itu, di kalangan Gerakan Jalan Lurus yang dikoordinir Dr Sulastomo juga diinventarisasi nama-nama seperti Syafei Maarif, Sulastomo, Salahuddin Wahid, selain Nurcholish Madjid. Pada kalangan lain dibincangkan juga tokoh-tokoh muda yang amat peduli terhadap nasib bangsa dan masyarakat seperti Todung Mulya Lubis, Azyumardi Azra dan sebagainya, sebagai tokoh-tokoh yang layak untuk ditawarkan sebagai calon-calon (independen) guna memimpin RI di masa datang.
Bila tokoh-tokoh itu dimunculkan, amat dapat dimengerti karena kebutuhan kepemimpinan nasional saat ini. Indonesia memerlukan kelompok kepemimpinan nasional di masa datang, yang seyogianya ada di tangan kepemimpinan spiritual. Yang dimaksud kepemimpinan spiritual bukan pemimpin keagamaan tertentu tetapi tokoh-tokoh yang berbobot spiritual tinggi, mempunyai kesalehan sosial dan integritas moral luhur. Bila di dunia demokrasi Barat muncul Partai Kristen Demokrat yang memimpin Pemerintahan Negara, wajar bila di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam namun dalam masyarakat pluralistik, kepemimpinan nasional itu ada di tangan Islam-demokrat, yakni tokoh-tokoh yang berasal dari petarangan Islam dan menganut faham demokratik, tidak Theokratik, otokratik, apalagi tiranik.
Tokoh-tokoh ini yang menampilkan pasangan capres/cawapres yang independen. Pasangan ini sekaligus memperkenalkan platform politik nasional yang mencakup kepentingan semua golongan, all inclusive. Bahkan, dalam pencalonan pasangan Presiden-Wakil Presiden sudah disertai "kabinet atau pendukung-pundukungnya yang pluralistik", terdiri orang-orang nasionalis, technosoof, budayawan yang berperikemanusiaan, intelektual yang kritis bertanggung jawab, dan pengusaha yang tidak "hitam". Dari pendukung-pendukung ini disusun "suatu Kabinet" berdasarkan meritokrasi.
Kalau pasangan capres/cawapres independen itu ada, renungan berikutnya adalah: apakah pencalonan independen ini dapat terwujud? Jawabannya, tidak! Karena, terhambat Pasal 6A Ayat (2) UUD. Dapat dipastikan tidak ada partai politik atau gabungan partai politik yang mau mencalonkan calon independen ini. Partai-partai politik pasti akan amat disibukkan oleh calon-calon yang berasal dari tokoh-tokoh mereka sendiri.
***
Sebenarnya ada kemungkinan untuk melakukan terobosan yang mengakomodasi hasrat sehat rakyat. Kemungkinan pertama, dengan mengamandemen Pasal 6A Ayat (2) sehingga membuka peluang pencalonan independen pasangan capres/cawapres dengan tanpa tergantung dukungan partai atau gabungan partai politik. Tetapi ini bisa menjadi "lucu" terutama karena Pasal 6A Ayat (2) yang merupakan hasil amandemen, dan belum pernah dijalankan, sudah harus diamendir lagi. Bila ini dilakukan, itu hanya menunjukkan betapa lemah dan tidak tersistematiknya proses reformasi konstitusi yang dilakukan kini.
Kemungkinan terobosan yang lain adalah DPR dan Presiden berani membuat Undang-Undang Pemilu yang mengakomodasi keperluan pencalonan independen ini. Dasarnya, Negara RI adalah negara hukum; artinya hukum yang berdaulat, dan bagian dari hukum yang berdaulat adalah undang-undang. Apalagi diingat, sistem MPR sudah ditinggalkan UUD yang telah diamandemen. Ini membutuhkan bukan saja kemauan tetapi lebih dari itu, keberanian DPR dan Presiden untuk menyerap dan memenuhi hasrat sehat publik Indonesia. Bila kemauan dan keberanian ini tidak ada, inilah nasib demokrasi kita!
Persoalan terkait yang perlu juga menjadi bahan perenungan kita, kapan seyogianya pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung dilaksanakan. Jika kita konsisten dan patuh dengan UUD yang kita miliki kini, jelas dinyatakan, Presiden dan Wakil Presiden secara sepasang dipilih langsung rakyat (Pasal 6A Ayat 1). Bukankah UUD 1945 yang telah diamandemen tiga kali ini sudah berlaku? Jadi adanya pemikiran bahwa kini belum waktunya dilaksanakan atau supaya ditunda berlakunya pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung, apa pun alasannya, adalah bertentangan dengan UUD.
Demikian pula, pemikiran yang berkembang mengenai perlunya Sidang Tahunan (ST) MPR mendatang, merumuskan pasal peralihan dalam UUD 1945 yang diamandemen, tentang pernyataan bahwa UUD 1945 yang sudah diamandemen I, II, III (dan mungkin IV) itu baru berlaku sesudah tahun 2004, tampaknya hanya didasarkan pada pertimbangan pragmatis, kalaupun bukan oportunistik. Jika ini diterima ST MPR nanti, yang akan terjadi adalah ketidakadilan konstitusional, terutama bagi mereka yang sudah terkena akibat dari pelaksanaan pasal-pasal UUD yang sudah diamandemen, seperti nasib calon-calon duta besar yang sudah ditolak DPR berdasarkan Pasal 13 Ayat 2. Ini bila tidak mendapat koreksi hanya melanggengkan ketidakpastian/kesemrawutan konstitusi di Indonesia.
Begitu pula dalam semangat bahwa presiden/wakil presiden dipilih langsung rakyat, maka masuk akal bila putaran kedua juga dipilih langsung oleh rakyat. Pernyataan PDI-P yang menerima usulan bahwa putaran kedua pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung dikembalikan kepada pemilih (rakyat) (Kompas, 9/7/2002), makin memberi kepastian pelaksanaan UUD secara konsekuen. Gagasan untuk menyerahkan putaran kedua pemilihan langsung pasangan presiden/wakil presiden kepada MPR, bertentangan sebenarnya dengan semangat UUD itu sendiri yang memberikan kepada MPR otoritas hanya untuk "seremoni" melantik presiden/wakil presiden terpilih.