Monday, July 26, 2010

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Masalah pengungsi dan pemindahan orang di dalam negeri merupakan persoalan yang paling pelik yang dihadapi masyarakat dunia saat ini. Banyak diskusi tengah dilakukan di PBB yang terus berusaha mencari cara-cara lebih efektif untuk melindungi dan membantu kelompok yang sangat rentan ini.

Sejumlah orang menyerukan ditingkatkannya kerja sama dan koordinasi antara lembaga pemberi bantuan, sebagian lain menunjuk pada celah-celah dalam peraturan internasional dan menghimbau disusunnya standar-standar dalam bidang ini lebih jauh lagi. Bagaimanapun, setiap orang setuju bahwa persoalan ini merupakan masalah multi-dimensional dan global. Oleh karenanya setiap pendekatan dan jalan keluar harus dilakukan secara komprehensif dan menjelaskan semua aspek permasalahan, dari penyebab eksodus massal sampai penjabaran respon yang perlu untuk menanggulangi rentang permasalahan pengungsi, dari keadaan darurat sampai pemulangan mereka (repatriasi).

Dalam perdebatan ini beberapa fakta tetap tidak dapat diingkari. Pertama, ketika sejumlah pemindahan massal masih mungkin untuk dicegah, tidak ada yang sukarela melakukannya. Tidak ada orang yang menyukai atau memilih menjadi pengungsi. Menjadi pengungsi berarti lebih buruk daripada menjadi orang asing. Pengungsi berarti hidup dalam pembuangan dan tergantung kepada orang lain untuk memperoleh kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan perumahan.

Informasi mengenai jumlah pengungsi di dunia, pembagian wilayah mereka, dan penyebab dari eksodus pada umumnya telah ada. Secara kronologis, informasi ini menyampaikan bahwa masalah pengungsi telah mengalami perubahan yang drastis dalam jumlah dan mutu selama lima dasawarsa terakhir.

Semenjak pembentukannya, PBB telah bekerja untuk melindungi para pengungsi di seluruh dunia. Pada 1951, saat Kantor Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) didirikan, diperkirakan satu juta pengungsi berada di dalam mandat UNHCR. Saat ini jumlah tersebut telah meningkat menjadi sekitar 17.5 juta pengungsi, di samping 2.5 juta pengungsi yang ditangani oleh Bantuan PBB dan Perwakilan Pekerja untuk pengungsi Palestina di Timur Tengah (UNRWA), dan lebih dari 25 juta orang mengalami pemindahan di dalam negeri.

Pada 1951 hampir seluruh pengungsi adalah orang Eropa. Saat ini sebagian besar pengungsi berasal dari Asia dan Afrika. Tidak seperti dahulu, pergerakan pengungsi saat ini lebih banyak terjadi dalam bentuk eksodus massal daripada pelarian secara individual. Delapan puluh persen pengungsi saat ini adalah perempuan dan anak-anak.

Penyebab terjadinya eksodus juga telah berlipat ganda, dan sekarang termasuk karena bencana alam atau ekologi dan kemiskinan yang amat sangat. Akibatnya, banyak pengungsi saat ini yang tidak sesuai dengan definisi dalam Konvensi sehubungan dengan Kedudukan Pengungsi. Hal ini menyangkut korban-korban pengejaran (persecution) karena alasan ras, agama, kewarganegaraan, anggota dari kelompok sosial atau pandangan politik tertentu.

Sistem PBB juga sangat memperhatikan meningkatnya jumlah pemindahan di dalam negeri secara massal pada tahun-tahun terakhir. “Pemindahan di dalam negeri” adalah kondisi di mana orang-orang dipaksa untuk meninggalkan kediaman mereka tetapi tetap dalam wilayah negara mereka sendiri.[1] Oleh karena masih berada di dalam wilayah negara mereka sendiri, orang-orang ini tidak termasuk dalam sistem perlindungan untuk pengungsi saat ini. Hampir semua orang yang termasuk dalam kategori orang yang dipindahkan di dalam negeri adalah penduduk negara berkembang, dan sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak-anak. Di beberapa negara, orang-orang yang dipindahkan di dalam negeri mencapai lebih dari sepuluh persen jumlah penduduk.

Situasi pengungsi telah menjadi contoh klasik sifat saling-ketergantungan masyarakat internasional. Telah sangat terbukti bagaimana persoalan pengungsi satu Negara dapat membawa akibat langsung terhadap Negara lainnya. Hal ini juga merupakan contoh saling ketergantungan antara masalah itu.

Ada hubungan yang jelas antara persoalan pengungsi dan masalah hak asasi manusia. Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi manusia bukan hanya sebagian diantara penyebab utama eksodus massal, tetapi juga menghilangkan adanya pilihan pemulangan secara sukarela selama hal tersebut terjadi. Pelanggaran terhadap hak kelompok minoritas dan pertikaian antar suku makin banyak menjadi sumber eksodus massal dan pemindahan di dalam negeri.

Pengabaian hak minimum pada pengungsi dan orang-orang yang dipindahkan di dalam negeri merupakan dimensi lain dari hubungan antara kedua masalah tersebut. Selama dalam proses mencari suaka, jumlah orang-orang yang menghadapi upaya-upaya pembatasan, yang menyebabkan mereka tidak mempunyai akses pada wilayah yang aman, semakin bertambah. Pada sejumlah contoh, pencari suaka dan pengungsi ditahan dan dikembalikan dengan paksa ke daerah di mana jiwa, kemerdekaan dan keamanan mereka terancam.

Beberapa di antara mereka diserang oleh kelompok bersenjata, atau dimasukkan menjadi anggota angkatan bersenjata dan dipaksa berperang untuk salah satu pihak atau pihak lainnya dalam pertikaian sipil. Pencari suaka dan pengungsi juga menjadi korban serbuan berdasarkan ras.

Para pengungsi mempunyai hak yang harus dihormati sebelum, selama dan setelah proses pencarian suaka. Penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan syarat yang penting untuk mencegah dan menyelesaikan masalah arus pengungsi saat ini. Dalam sambutan yang disampaikan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi, Sadako Ogata mengatakan bahwa “masalah pengungsi harus disampaikan kepada seluruh pemerintah dan penduduk untuk menguji komitmen mereka terhadap hak asasi manusia”.

1.2. RUMUSAN MASALAH

1. Siapakah Pengungsi itu dan apakah hak mereka berdasarkan Hukum Internasional?

2. Apakah sebenarnya hubungan antara pelanggaran hak asasi manusia dengan pergerakan pengungsi?

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1. Pengungsi dan Hak Mereka Berdasarkan Hukum Internasional.

2.1.1. Pengertian Pengungsi.

Dalam pasal 1, Konvensi memberikan definisi umum tentang istilah “pengungsi.” Istilah tersebut berlaku pada setiap orang yang “sebagai akibat peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951, dan karena adanya ketakutan yang beralasan akan dikejar-kejar atas alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam suatu kelompok sosial atau pandangan politik tertentu, berada di luar negara tempat ia menjadi warganegara, dan tidak mampu, atau tidak mau, karena adanya ketakutan semacam itu, mendapat perlindungan dari negara tersebut; atau siapa saja yang tidak memiliki kewarganegaraan dan sedang berada di luar negara tempat ia sebelumnya bertempat tinggal, ternyata tidak mau kembali ke negara tersebut karena adanya peristiwa-peristiwa semacam itu.

Konvensi 1951 hanya dapat bermanfaat bagi orang yang menjadi pengungsi akibat peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951. Namun tahun-tahun setelah 1951 membuktikan bahwa pergerakan pengungsi tidak hanya merupakan dampak sementara dari Perang Dunia Kedua dan keadaan pasca perang. Sepanjang tahun-tahun terakhir 1950an dan 1960an muncul kelompok-kelompok pengungsi baru, terutama di Afrika. Para pengungsi ini membutuhkan perlindungan yang tidak dapat diberikan pada mereka karena batas waktu yang ditetapkan oleh Konvensi 1951.

Protokol 1967 memperluas penerapan Konvensi dengan menambahkan situasi “pengungsi baru,” yakni orang-orang yang walaupun memenuhi definisi Konvensi mengenai pengungsi, akan tetapi mereka menjadi pengungsi akibat peristiwa yang terjadi setelah 1 Januari 1951.

Pergerakan pengungsi sekarang ini berbeda dengan mereka yang mengungsi pada saat setelah Perang Dunia Kedua. Alasan-alasan untuk meninggalkan Negara mereka seringkali sangat kompleks dan tidak hanya karena pengejaran saja. Orang-orang meninggalkan negaranya karena pertikaian sipil, pelanggaran berat terhadap hak asasi mereka, serbuan dan pendudukan oleh pihak asing, kemiskinan, kelaparan, penyakit dan kekacauan ekologi. Banyak di antara mereka yang tidak termasuk sebagai pengungsi berdasarkan definisi PBB.

Untuk dikualifikasikan sebagai pengungsi, orang tersebut harus merupakan pengungsi “politik”. Konvensi 1951 sehubungan dengan status pengungsi memberikan penegasan terhadap “kecemasan atas pengejaran” tapi tidak menjelaskan istilah itu dengan jelas. Pasal 33 konvensi berkenaan dengan ancaman terhadap jiwa dan kebebasan seseorang “karena alasan ras, agama, kewarganegaraan, anggota kelompok sosial atau pendapat politik tertentu.” Definisi ini diberikan dalam konteks tahun-tahun setelah perang dan tidak berhubungan dengan sejumlah situasi pengungsi saat ini.

Akibatnya sejumlah negara, khususnya di Afrika dan Amerika Latin telah memperluas definisi istilah pengungsi. Di banyak negara lainnya sebagian besar permohonan suaka ditolak akibat dipegang teguhnya definisi 1951 .

Dari kacamata hak asasi manusia, situasi ini menimbulkan persoalan besar. Tidak selalu mungkin untuk membedakan dengan pasti, perbedaan antara pengungsi dan pekerja migran. Mungkin dipertanyakan bahwa bila penekanan ditempatkan pada ancaman terhadap kehidupan dan kebebasan, sangat sedikit bedanya antara orang yang menghadapi kematian karena kelaparan dan karena ancaman hukuman mati yang sewenang-wenang karena keyakinan politiknya.

2.1.2. Hak-hak Pengungsi.

Konsep perlindungan internasional yang sekarang telah berkembang secara bertahap, saat ini ia mengimplikasikan serangkaian tanggapan hukum dan kelembagaan. Dua fungsi utama Komisi Tinggi untuk Pengungsi adalah melindungi pengungsi dan mencari solusi yang tahan lama terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi.

Pada pelaksanaannya, tugas dari perlindungan internasional termasuk pencegahan pemulangan kembali, bantuan dalam memproses pencarian suaka, bantuan dan nasihat hukum, pemajuan penyelenggarakan keamanan fisik bagi pengungsi, pemajuan dan membantu pemulangan kembali secara sukarela, dan membantu para pengungsi untuk bermukim kembali (pasal 8 Statuta UNHCR).

Dengan demikian, fungsi perlindungan internasional mempunyai landasan hukum, dan pelaksanaannya dikuasakan kepada Komisi Tinggi. Hak atas perlindungan, walaupun tidak dijelaskan sebagai hak yang terpisah, secara implisit terkandung dalam Konvensi 1951 dan ketentuan-ketentuan dasarnya, khususnya prinsip untuk tidak memulangkan kembali (non-refoulement).

Di samping itu, sejumlah hak asasi manusia yang diakui secara universal dapat langsung diterapkan pada pengungsi. Hal ini termasuk hak untuk hidup, perlindungan dari penyiksaan dan perlakuan buruk, hak atas kewarganegaraan, hak untuk bebas bergerak, hak untuk meninggalkan setiap Negara, dan hak untuk tidak dipulangkan secara paksa. Hak ini dikuatkan di antara hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan budaya lainnya, bagi semua orang, warga negara atau bukan warga negara, di dalam DUHAM, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang bersama-sama membentuk Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia.

a) “Tidak seorangpun dapat menjadi sasaran penangkapan yang sewenang-wenang, penahanan atau pengasingan” (Pasal 9 DUHAM);

b) “Setiap orang mempunyai hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain akibat pengejaran” (Pasal 14 DUHAM);

c) “Setiap orang mempunyai hak atas suatu kewarganegaraan” (Pasal 15 DUHAM);

d) “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan bergerak, dan tinggal di dalam batas wilayah setiap Negara”. (Pasal 13 DUHAM)

e) Setiap orang mempunyai hak untuk meninggalkan setiap Negara, termasuk Negaranya sendiri, dan untuk kembali ke Negaranya.” ( pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik).

2.2.Pelanggaran HAM dan Pengungsi.

Saat ini masyarakat internasional telah mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia merupakan sebab utama dari eksodus massal. Sementara terus dilakukan usaha-usaha untuk memberi bantuan pada sumber permasalahan, perhatian beralih pada kesulitan yang dihadapi pencari suaka setelah mereka meninggalkan Negara asalnya.

Tiga masalah dalam hal ini telah menimbulkan keperihatinan. Pertama, kecenderungan untuk menutup pintu terhadap pencari suaka. Kedua, sehubungan dengan pelanggaran terhadap hak minimum pencari suaka selama proses permohonan suaka dan juga setelah seseorang diakui berstatus pengungsi. Tidak adanya toleransi, adanya rasialisme, xenophobia (ketakutan pada orang asing), agresi, ketegangan dan pertikaian nasional dan etnis telah meningkat di sejumlah tempat dan mempengaruhi banyak kelompok, khususnya pencari suaka dan pengungsi. Masalah yang ketiga adalah terus berlangsungnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia di Negara asal, dan adanya kebutuhan untuk mengatasi masalah pelanggaran tersebut sebelum pengungsi dapat dipulangkan secara sukarela.

Pada beberapa kasus, standar perlakuan minimum terhadap pencari suaka tidak dihormati. Prosedur penentuan pengungsi yang tidak sesuai, dan pemulangan kembali di pelabuhan udara dan wilayah perbatasan, menyebabkan masalah besar bagi sejumlah pencari suaka. Terkadang, pemulangan kembali dilakukan dalam bentuk yang tidak manusiawi seperti pemulangan dengan paksa terhadap pencari suaka ke Negara asalnya di mana jiwa, kemerdekaan dan keamanan mereka dapat terancam. Bahkan perahu pencari suaka pernah didorong kembali ke laut supaya mereka mati karena kelaparan atau menjadi sasaran yang mudah bagi ikan hiu atau perompak, ketika mereka mencoba mendarat pada suatu pantai.

Contoh lain mengenai perlakuan buruk termasuk serangan fisik, penahanan terhadap pencari suaka dalam waktu yang panjang dan tanpa alasan yang sah, dan prosedur interogasi yang kasar. Pemerintah dapat pula gagal untuk memberikan perlindungan yang layak bagi pencari suaka dan pengungsi, sehingga dengan demikian mengekspos mereka pada bahaya serangan rasis dan xenophobia.

Persoalan pencari suaka tidak selesai pada saat mereka akhirnya dapat menyeberangi perbatasan dan melampaui tahap pertama pencarian suaka, yang seperti disebutkan di atas, sering termasuk periode penahanan dan/atau proses interogasi. Ketika permohonan suaka mereka sedang diproses dan bahkan setelah status mereka sebagai pengungsi telah ditentukan, mereka mungkin saja menghadapi sejumlah pembatasan dan halangan.

Dalam beberapa contoh, pengungsi dibatasi dalam suatu kamp, dan akses pada pengadilan dan bantuan hukum ditolak. Lebih jauh lagi, pengungsi mungkin tidak dapat memperoleh pekerjaan, memiliki usaha atau membeli tanah.

Kenyataannya, pada banyak kasus di mana pengungsi tidak dipulangkan dengan paksa, mereka mungkin merasa dipaksa pergi karena buruknya keadaan hidup mereka di Negara tuan rumah.

Pada beberapa tempat, para pengungsi secara rutin menjadi sasaran pengejaran dan penganiayaan. Banyak yang meninggal dalam serangan militer atau serangan bersenjata pada kamp atau penampungan pengungsi. Pemuda dan anak kecil sering dimasukkan ke dalam gerombolan bersenjata dan gerilya, dan dipaksa bertempur dalam perang saudara.

Serangan terhadap kamp pengungsi telah dikutuk dalam sejumlah resolusi Majelis Umum PBB. Komisi Hak Asasi Manusia juga telah memperhatikan kasus-kasus tertentu seperti penyerangan terhadap kamp pengungsi Palestina di Libanon, dan serangan pada perbatasan Thailand-Kamboja. Pengungsi perempuan dan anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan. Konvensi Hak Anak membuat ketentuan khusus untuk memberikan “perlindungan yang tepat dan bantuankemanusiaan” kepada pengungsi anak-anak.[2] Perempuan merupakan kelompok terbesar pengungsi dunia. Mereka sangat sering menjadi sasaran kekerasan fisik dan seksual di negara tempat mengungsi.

Hubungan final antara persoalan hak asasi manusia dan pengungsi terdapat dalam masalah solusi yang bertahan lama. Pasal 1 ayat C dari Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa status pengungsi adalah tidak permanen. Pengasingan bukan merupakan solusi kemanusiaan yang tahan lama atau benar bagi pengungsi. Pengasingan, dalam bentuk pemaksaan untuk berpisah dari kampung halaman, hanya menghentikannya untuk sementara waktu. Walaupun demikian, pemulangan kembali hanya dapat dilakukan dan bersifat manusiawi manakala ia dilaksanakan secara sukarela, dan dengan memperhatikan penghormatan atas hak asasi pengungsi.

Selama pelanggaran hak asasi manusia tetap terjadi di Negara asal, diragukan apakah ada pengungsi yang memutuskan untuk kembali dengan sukarela. Oleh sebab itu, perbaikan penghormatan dan pemajuan terhadap semua jenis hak asasi manusia, dan penghentian pertikaian dengan kekerasan di Negara asal merupakan syarat yang dibutuhkan untuk pemulangan pengungsi secara sukarela.

BAB 3. PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

3.1.1. Dalam pasal 1, Konvensi memberikan definisi umum tentang istilah “pengungsi.” Istilah tersebut berlaku pada setiap orang yang “sebagai akibat peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951, dan karena adanya ketakutan yang beralasan akan dikejar-kejar atas alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam suatu kelompok sosial atau pandangan politik tertentu, berada di luar negara tempat ia menjadi warganegara, dan tidak mampu, atau tidak mau, karena adanya ketakutan semacam itu, mendapat perlindungan dari negara tersebut; atau siapa saja yang tidak memiliki kewarganegaraan dan sedang berada di luar negara tempat ia sebelumnya bertempat tinggal, ternyata tidak mau kembali ke negara tersebut karena adanya peristiwa-peristiwa semacam itu.

Sejumlah hak asasi manusia yang diakui secara universal dapat langsung diterapkan pada pengungsi. Hal ini termasuk hak untuk hidup, perlindungan dari penyiksaan dan perlakuan buruk, hak atas kewarganegaraan, hak untuk bebas bergerak, hak untuk meninggalkan setiap Negara, dan hak untuk tidak dipulangkan secara paksa. Hak ini dikuatkan di antara hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan budaya lainnya, bagi semua orang, warga negara atau bukan warga negara, di dalam DUHAM, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang bersama-sama membentuk Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia.

3.1.2. Masyarakat internasional telah mengakui bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia merupakan sebab utama dari eksodus massal. Hubungan final antara persoalan hak asasi manusia dan pengungsi terdapat dalam masalah solusi yang bertahan lama. Pasal 1 ayat C dari Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa status pengungsi adalah tidak permanen. Pengasingan bukan merupakan solusi kemanusiaan yang tahan lama atau benar bagi pengungsi. Pengasingan, dalam bentuk pemaksaan untuk berpisah dari kampung halaman, hanya menghentikannya untuk sementara waktu. Walaupun demikian, pemulangan kembali hanya dapat dilakukan dan bersifat manusiawi manakala ia dilaksanakan secara sukarela, dan dengan memperhatikan penghormatan atas hak asasi pengungsi.

Selama pelanggaran hak asasi manusia tetap terjadi di Negara asal, diragukan apakah ada pengungsi yang memutuskan untuk kembali dengan sukarela. Oleh sebab itu, perbaikan penghormatan dan pemajuan terhadap semua jenis hak asasi manusia, dan penghentian pertikaian dengan kekerasan di Negara asal merupakan syarat yang dibutuhkan untuk pemulangan pengungsi secara sukarela.

DAFTAR BACAAN

Richard. B Bilder. Tinjauan Umum Hukum Hak Asasi Manusia . Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2005. Jakarta

Sri Badini Amidjojo. Perlindungan hukum terhadap pengungsi berdasarkan Konvensi Jenewa 1951. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI. 2006. Jakarta.

Theofransus Litaay. Penanganan Pengungsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ( Makalah). Oktober 2003.

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik 16 Desember 1966

Konvensi tentang Kedudukan Pengungsi 28 Juli 1951



[1] Laporan analisa dari Sekretaris Jenderal tentang Pemindahan Orang-Orang di Dalam Negeri, dokumen E/CN.4/1992/23, hal.4.

[2] Lihat Pasal 22 Konvensi Hak Anak